BAB VII
SHALAT
Shalat nawafil (sunnah) disyariatkan oleh ajaran Islam, karena shalat sunnah di pandang perlu dan penting, sebagaimana tubuh yang membutuhkan makanan pokok, vitamin, mineral serta zat-zat lain agar tetap sehat dan bugar. Shalat maktubah sebagai makanan pokok bagi jiwa sedangkan shalat sunnah sebagai tambahan vitamin atau suplemennya.
Macam-macam Shalat Sunnah
Shalat sunnah secara garis besar terbagi menjadi dua:
1. Shalat sunnah yang mengiringi shalat Fardhu, seperti: shalat sunnah Qobliyah dan Ba’diyah (Rawatib)
2. Shalat sunnah yang tidak mengiringi shalat Fardhu, antara lain:
- Shalat Ba’da Wudlu’ (Lissyukril wudhu’), yaitu shalat sunnah 2 rakaat yang dikerjakan setelah membaca do’a wudlu’. Adapun niat shalatnya adalah sebagai berikut:
أُصَلِّي سُنَّةً لِّشُكْرِ الْوُضُوْءِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى
- Shalat Tahiyatal Masjid; yaitu shalat sunnah dengan jumlah 2 raka’at yang dilakukan ketika memasuki masjid sebelum duduk. Adapun niat shalatnya adalah sebagai berikut:
أُصَلِّي سُنَّةً تَحِيَّةَ الْمَسْجِدِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى
- Shalat Taubat, yaitu shalat sunnah yang dilakukan untuk memohon ampunan atas segala dosa yang telah dilakukan. Adapun niat shalatnya adalah sebagai berikut:
أُصَلِّي سُنَّةً لِلتَّوْبَةِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى
- Shalat Liidaf’il Bala’; yaitu shalat sunnah 2 rakaat yang bertujuan agar kita terhindar dari segala mara bahaya. Adapun niat shalatnya adalah sebagai berikut:
أُصَلِّي سُنَّةً لِدَفْعِ الْبَلَاءِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى
- Shalat Tasbih, yaitu shalat sunnah 4 raka’at dengan dua salam yang di dalamnya terdapat bacaan tasbih pada setiap raka’at. Cara mengerjakannya: ketika selesai membaca al-Fatihah dan surat pada tiap-tiap raka’at lalu:
1. Membaca tasbih sebanyak 15 kali
2. Membaca tasbih sebanyak 10 kali ketika ruku’
3. Membaca tasbih sebanyak 10 kali ketika i’tidal
4. Membaca tasbih sebanyak 10 kali ketika sujud
5. Membaca tasbih sebanyak 10 kali ketika duduk diantara dua sujud
6. Membaca tasbih sebanyak 10 kali ketika sujud kedua
7. Membaca tasbih sebanyak 10 kali ketika duduk istirahat
Adapun niat shalatnya adalah sebagai berikut:
أُصَلِّي سُنَّةَ التَّسْبِيْحِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى
- Shalat Liqadhail Hajat, yaitu shalat yang bertujuan untuk memohon agar hajat/kebutuhan kita segera dicukupi oleh Allah Swt. Cara mengerjakannya: pada sujud terakhir setelah membaca tasbih, kemudian berdo’a meminta apa hajat kita, tapi dengan catatan harus di dalam hati tidak boleh dilafadzkan, karena kalau dilafadzkan di lisan akan membatalkan shalat. Shalat ini berjumlah 2 raka’at, adapun niat shalatnya adalah sebagai berkut:
أُصَلِّي سُنَّةً لِقَضَاءِ الْحَاجَةِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى
- Shalat Tahajjud, yaitu shalat sunnah yang dikerjakan pada waktu malam hari dengan jumlah rakaat paling sedikit 2 raka’at dan paling banyak tak terbatas. Waktu pelaksanaannya adalah setelah shalat isya’ sampai shubuh, dan lebih utama dilakukan setelah bangun tidur di malam hari. Adapun waktu mengerjakannya ada 3:
1. Sepertiga pertama, yaitu dari jam 7-10 malam (waktu utama)
2. Sepertiga kedua, yaitu dari jam 10-1 malam (waktu lebih utama)
3. Sepertiga ketiga, yaitu dari jam 1 malam sampai masuknya waktu shubuh (waktu yang paling utama).
Adapun niat shalatnya adalah sebagai berikut:
أُصَلِّي سُنَّةً لِتَّهَجُّدِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى
- Shalat Tsubutul Iman, yaitu shalat sunnah yang bertujuan agar diberi kekuatan iman. Shalat ini berjumlah 2-6 raka’at. Adapun niat shalatnya adalah sebagai berikut:
أُصَلِّي سُنَّةً لِثُبُوْتِ الْإِيْمَانِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى
- Shalat Istikharah, yaitu shalat sunnah yang dilakukan untuk meminta petunjuk kepada Allah Swt. Atas segala kebingungan, pertanyaan atau ketidaktahuan. Shalat ini lebih utama dikerjakan pada waktu malam hari sebanyak 2 raka’at. Adapun niat shalatnya adalah sebagai berikut:
أُصَلِّي سُنَّةَ الْاِسْتِخَارَةِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى
- Shalat Tarawih, yaitu shalat sunnah yang hanya dilakukan pada bulan ramadlan, baik dilakukan sendiri maupun secara berjama’ah. Adapun mengenai jumlah raka’atnya ulama’ berbeda pendapat, keterangan perbedaan pendapat ulama’ mengenai jumlah rakaat shalat tarawih kami terangkan setelah ini. Niat shalatnya adalah sebagai berikut:
أُصَلِّي سُنَّةَ التَّرَاوِيْحِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى
- Shalat Dhuha, yaitu shalat sunnah yang dikerjakan pada waktu matahari terbit (waktu dhuha) atau sekitar pukul 07.00 sampai pukul 11.00 WIB. Yang dikerjakan sekurang-kurangnya 2-12 raka’at. Adapun niat shalatnya adalah sebagai berikut:
أُصَلِّي سُنَّةَ الضُّحَى رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى
- Shalat Awwabin, yaitu shalat sunnah yang dikerjakan antara waktu Maghrib dan waktu isya’ dengan jumlah rakaat sebanyak 2-20 rakaat. Adapun niat shalatnya adalah sebagai berikut:
أُصَلِّي سُنَّةَ الْأَوَّبِِيْنَ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى
- Shalat ketika pulang dari bepergian, shalat sunnah 2 rakaat yang dikerjakan setelah kita kembali dari bepergian. Adapun niat shalatnya adalah sebagai berikut:
أُصَلِّي سُنَّةً لِقُدُوْمِ السَّفَرِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى
- Shalat Ba’da Akad Nikah, yaitu shalat sunnah 2 rakaat yang dikerjakan setelah selesai melaksanakan akad nikah bagi pengantin baru, agar nikahnya diridloi oleh Allah Swt.. Adapun niat shalatnya adalah sebagai berikut:
أُصَلِّي سُنَّةً لِعَقْدِ النِّكَاحِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى
- Shalat Sunnah Mutlak, yaitu shalat sunnah 2 rakaat yang dikerjakan kapanpun dan dimanapun. Adapun niat shalatnya adalah sebagai berikut:
أُصَلِّي سُنَّةَ الْمُطْلَقِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى
- Shalat Witir, yaitu shalat sunnah dengan raka’at ganjil. (1-11 raka’at) yang biasanya dikerjakan shalat tarawih. Adapun niatnya adalah sebagai berikut:
أُصَلِّي سُنَّةً رَكْعَةَ الْوِتْرِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى
Dan masih banyak lagi shalat sunnah yang lain.
Keterangan tentang shalat-shalat sunnah ini diambil dari kitab Tanwirul Qulub, hal.200-206 dan kitab Nihayatuz Zain, hal. 98-116.
Dalam setiap shalat sunnah yang telah disebutkan di atas, disunnahkan berdo’a kepada Allah Swt. dalam hati ketika sujud terakhir, karena waktu itu merupakan waktu yang mustajabah, namun tidak diperkenankan berdo’a dengan bersuara karena bisa menyebabkan batalnya shalat. Dalil yang menjelaskan tentang kesunnahan berdo’a ketika sedang sujud adalah sebagai berikut:
رَوَيْنَا فِي (صَحِيْحِ مُسْلِمٍ)عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَأَمَّا الرُّكُوْعُ فَعَظِّمُوْا فِيْهِ الرَّبَّ وَأَمَّا السُّجُوْدُ فَاجْتَهِدُوْا فِيْهِ بِالدُّعَاءِ فَقِمْنَ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ. (الأذكار النووى ص 45)
Kami meriwayatkan dalam shahih muslim dari ibn Abbas bahwa Rasulullah Saw. Bersabda: Ketika ruku’ agungkanlah Tuhan dan ketika sujud bersungguh-sungguhlah dengan berdo’a, maka niscaya Dia mengabulkan do’amu. (al-Adzkar al-Nawawi, hal. 45)
Bilangan Rakaat Shalat Tarawih
Mengenai bilangan jumlah shalat tarawih ulama’ berbeda pendapat:
a. Menurut Imam Syafi’i, Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan Imam Dawud sebanyak 20 raka’at dengan 10 salaman selain witir dan setiap 4 rakaat 2 salaman melakukan istirahat. Berdasarkan riwayat Imam Baihaqi dan lainnya dengan sanad yang sahih.
b. Menurut al-Qadhi ‘Iyadh dari jumhur ulama’ diceritakan sesungguhnya sahabat al-Ashwat bin Mazid mengerjakan shalat tarawih sebanyak 40 raka’at dan shalat witir sebanyak 7 raka’at.
c. Menurut Imam Malik sebanyak 36 raka’at selain witir dengan alasan karena ahli madinah mengerjakan shalat tarawih dengan bilangan ini.
d. Menurut Imam Nafi’ sebanyak 39 raka’at (36 raka’at shalat tarawih dan 3 shalat witir).
Keterangan dalam kitab al-Majmu’ Syarah Muhadzab bab Shalat at-Tathawu’, Juz 4, hal.38, keterangan mengenai khilaf bilangan shalat tarawih ini juga diterangkan dalam kitab al-Mizan al-Kubra, juz I, hal. 184.
(فَرْعٌ) فِيْ مَذَاهِبَ الْعُلَماَءِ فِيْ عَدَدِ رَكَعاَتِ التَّرَاوِيْحِ * مَذْهَبُناَ أَنَّهاَ عِشْرُوْنَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيْماَتٍ غَيْرُ الْوِتْرِ وَذَلِكَ خَمْسُ تَرْوِيْحَاتٍ وَالتَّرْوِيْحَةُ أَرْبَعُ رَكْعاَتٍ بِتَسْلِيْمَتَيْنِ هذا مَذْهَبُناَ وَبِهِ قاَلَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ وَأَصْحَابُهُ وَأَحْمَدُ وَدَاوُدُ وَغَيْرُهُمْ وَنَقَلَهُ الْقاَضِي عِياَضٌ عَنْ جُمْهُوْرِ الْعُلَمَاءِ وَحُكِىَ أَنَّ اْلاَسْوَدَ بْنَ مَزِيْدٍ كاَنَ يَقُوْمُ بِأَرْبَعِيْنَ رَكْعَةً وَيُوَتِّرُ بِسَبْعٍ وَقاَلَ مَالِكٌ اَلتَّرَاوِيْحُ تِسْعُ تَرْوِيْحاَتٍ وَهِىَ سِتَّةٌ وَثَلاَثُوْنَ رَكْعَةً غَيْرَ اْلوِتْرِ وَاحْتَجَّ بِأَنَّ أَهْلَ الْمَدِيْنَةِ يَفْعَلُوْنَهَا هَكَذَا . وَعَنْ ناَفِعٍ قاَلَ أَدْرَكْتُ النَّاسَ وَهُمْ يَقُوْمُوْنَ رَمَضَانَ بِتِسْعٍ وَثَلاَثِيْنَ رَكْعَةٍ يُوَتِّرُوْنَ مِنْهَا بِثَلاَثٍ * وَاحْتَجَّ أَصْحَابُنَا بِمَا رَوَاهُ اْلبَيْهَقِىُّ وَغَيْرُهُ بِاْلاِسْناَدِ الصَّحِيْحِ ( المجموع شرح المهذب باب صلاة التطوع الجزء 4 ص 38 )
Lebih lanjut dalam kitab Subul al-Salam ada salah satu hadits Nabi yang berbunyi:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي فِي رَمَضَانَ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً وَالْوِتْرِ
Diceritakan dari ibnu Abbas ra.: sesungguhnya Ibnu Abbas berkata: Rasulullah Saw. mengerjakan shalat tarawih 20 raka’at dan shalat witir di bulan Ramadlan. (Subul al-Salam, juz II, hal. 10)
عَنْ مَالِكٍ عَنْ يَزِيْدِ بْنِ رُوْمَانَ أَنَّهُ قَالَ كَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ فِي زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ بِثَلَاثٍ وَعِشْرِيْنَ رَكْعَةً.
Diceritakan dari Malik dari Yazid bin Rumman. Dia berkata: Manusia di masa Umar bin Khattab telah melakukan shalat (tarawih) dengan 23 rakaat di bulan Ramadlan. (Tanwir al-Hawalik, hal.138)
Dengan demikian shalat tarawih sunnah dilaksanakan dengan berjama’ah, jumlah rakaatnya menurut kebanyakan ulama’ adalah 20 raka’at (10 salam) ditambah 3 rakaat shalat witir.
Pujian Menjelang Shalat Berjama’ah
Pujian-pujian kepada Allah Swt. yang dilakukan antara adzan dan iqomah dalam shalat maktubah merupakan syi’ar sebagai tanda akan didirikannya shalat jama’ah dan juga untuk menunggu berkumpulnya para jama’ah. Bagaimanakah hukum pujian sebelum shalat tersebut?
a. Dilarang, apabila mengganggu orang yang sedang shalat dan mempunyai niat pamer.
b. Sunnah (dianjurkan), karena pujian itu bisa diambil manfaatnya bagi pembaca dan pendengarnya, akan lebih baik dibaca keras selagi tidak mempunyai niat riya’ (pamer), tidak mengganggu orang yang shalat atau orang yang tidur.
(al-Umm juz 1 hal. 108., Bughyah al-Mustarsyidin, hal. 48 dan al-Fatawi al-Fiqhiyah al-Kubra bab Ahkami al-Masajidi)
( قال الشَّافِعِيُّ ) وَأُحِبُّ ِلْلاِمَامِ أَنْ يَأْمُرَ ِبهَذَا إذَا فَرَغَ الْمُؤَذِّنُ مِنْ أَذَانِهِ وَإِنْ قَالَهُ في أَذَانِهِ فَلَا بَأْسَ عَلَيْهِ وَإِذَا تَكَلَّمَ بِمَا يُشْبِهُ هذَا خَلْفَ الْأَذَانِ مِنْ مَنَافِعِ النَّاسِ فَلَا بَأْسَ وَلَا أُحِبُّ الْكَلَامَ في الْأَذَانِ بِمَا لَيْسَتْ فِيْهِ لِلنَّاسِ مَنْفَعَةٌ وَإِنْ تَكَلَّمَ لَـمْ يُعِدْ أَذَانًا وَكَذَلِكَ إذَا تَكَلَّمَ فِيْ الْإِقَامَةِ كَرِهْتُهُ وَلَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ إِعَادَةُ إقَامَةٍ (الأم ج 1 ص 108 )
اَلذِّكْرُ كاَلْقِرَاءَةِ مَطْلُوْبٌ بِصَرِيْحِ اْلآياَتِ وَالرَّوَاياَتِ وَالْجَهْرِ بِهِ حَيْثُ لَمْ يَخِفْ رِياَءً وَلَمْ يُشَوِّشْ عَلَى نَحْوِ مُصَلٍّ أَفْضَلُ ، لِأَنَّ الْعَمَلَ فِيْهِ أَكْثَرٌ ، وَ تَتَعَدَّى فَضِيْلَتُهُ لِلسَّامِعِ ، وَلِأَنَّهُ يُوقِظُ قَلْبَ الْقَارِئِ وَيَجْمَعُ هَمَّهُ إلَى الْفِكْرِ وَيَصْرِفُ سَمْعَهُ إلَيْهِ وَيَطْرُدُ النَّوْمَ وَيَزِيدُ النَّشَاطَ ( بغية المسترشدين ص 48 )
Hukum Jama’ah Perempuan Ketika Berada di Samping Barisan Jama’ah Laki-laki
Tata cara shalat berjama’ah bagi kaum perempuan yaitu bertempat di belakang barisan laki-laki. Akan tetapi karena kendala tempat, terkadang makmum perempuan dalam shalat berjama’ah berada di sebelah kiri atau sebelah kanan barisan laki-laki seperti yang terdapat di beberapa musholla dan masjid. Lantas bagaimana shalat jama’ah perempuan tersebut?
Dalam hal ini terjadi perbedaan pandangan:
a. Perempuan yang ikut shalat berjama’ah di selain tempat belakang itu tidak mendapatkan fadilah jama’ah.
وَيَقِفُ الذَّكَرُ عَنْ يَمِيْنِهِ إِلىَ أَنْ قَالَ وَكَذَا اِمْرَأَةٌ أَوْ نِسْوَةٌ تَقُوْمُ أَوْ يَقُمْنَ خَلْفَهُ وَاِنْ حَضَرَ مَعَهُ رَجُلٌ وَاِمْرَأَةٌ قَامَ الرَّجُلُ عَنْ يَمِيْنِهِ وَاْلمَرْأَةُ خَلْفَ الرِّجَالِ إَلىَ أَنْ قَالَ "وَكُلُّ مَا ذُكِرَ مُسْتَحَبٌّ وَمُخَالَفَتُهُ لاَ تُبْطِلُ الصَّلاَةَ" (قَوْلُهُ وَمُخَالَفَتُهُ لاَ تُبْطِلُ الصَّلاَةَ) لَكِنَّهَا مَكْرُوْهَةٌ تَفُوْتُ بِهَا فَضِيْلَةُ الْجَمَاعَةِ عَلىَ اْلإِمَامِ ومَنْ مَعَهُ وَلَوْ مَعَ الْجَهْلِ بِهَا.
Dan orang laki-laki berdiri di sebelah kanan imam dan seterusnya, begitu juga seorang atau beberapa wanita berdiri di belakang imam. Dan apabila laki-laki dan perempuan berjamaah secara bersamaan, maka seorang laki-laki itu berdiri di sebelah kanan, sedangkan perempuan berada di belakang laki-laki, hal tersebut disunnahkan, apabila tidak sesuai dengan tatanan shaf di atas maka hal itu tidak membatalkan shalat (akan tetapi hukumnya makruh yang menghilangkan keutamaan jama’ah atas imam dan makmumnya walaupun karena tidak tau. (al-Mahalli, Juz I, Hal. 238-239)
b. Mendapat fadilahnya jama’ah, akan tetapi tidak mendapatkan fadilahnya tertib shof, karena sebenarnya shof perempuan itu berada di barisan paling belakang. Sebagaimana diterangkan dalam kitab Hasyiyah I’anah al-Thalibin juz 2 hal. 24 dan dalam kitab Hasyiyah al-Jamal juz 1 hal. 547:
وَقَالَ م ر فِي الْفَتَاوِيْ، تَبَعًا لِلشَّرَفِ الْمَنَاوِيْ، إِنَّ الْفَائِتَ عَلَيْهِمْ: فَضِيْلَةُ الصُّفُوْفِ، لاَ فَضِيْلَةِ الْجَمَاعَةِ. وَمَالَ ع ش إِلَى مَا فِيْ شَرْحِ الرَّمْلِي، لِاَنَّهُ إِذَا تَعَارَضَ مَا فِيْهِ وَغَيْرِهِ قُدِّمَ مَا فِي الشَّرْحِ اه. بُجَيْرَمِيْ. (حاشية اعانة الطالبين ج 2 ص 24)
( قَوْلُهُ وَكُرِهَ لِمَأْمُومٍ انْفِرَادٌ ) أَيْ ابْتِدَاءً وَدَوَامًا وَكَرَاهَتُهُ لَا تُفَوِّتُ فَضِيلَةَ الْجَمَاعَةِ بَلْ فَضِيلَةُ الصَّفِّ عِنْدَ بَعْضِهِمْ ، (حاشية الجمل , ج 1 ص 546)
Makmum Shalat Beda Niat dengan Imam
Ahmad adalah salah satu santri yang selalu aktif mengikuti shalat berjama’ah. Pada suatu hari ia terlambat shalat berjama’ah di masjid. Kemudian ia menghampiri seseorang yang sedang shalat untuk menjadi makmum. Setelah shalat, ternyata diketahui bahwa sang imam sedang melaksanakan shalat sunnah ba’diyah. Bagaimanakah hukum shalatnya makmum yang beda niat dengan imamnya?
Hukum shalat makmum tersebut itu boleh meskipun niatnya beda dengan imamnya, tetap sah shalatnya, dan tetap mendapatkan fadilahnya jama’ah. Keterangan kitab Tuhfah al-Habib ‘Ala Syarhi al-Khatib, bab kitab al-Shalat juz 2 hal 346, keterangan yang sama terdapat dalam kitab Jamal ‘Ala Minhaj, Juz I, hal. 562-563 dan Khasyiyah al-Bujairami.
قَوْلُهُ : ( وَلَا يَضُرُّ اخْتِلَافُ نِيَّةِ الْإِمَامِ وَالْمَأْمُومِ ) أَيْ لِعَدَمِ فُحْشِ الْمُخَالَفَةِ فِيهِمَا وَهَذَا مُحْتَرَزُ قَوْلِهِ الظَّاهِرَةُ لِأَنَّ الِاخْتِلَافَ هُنَا فِي النِّيَّةِ وَهِيَ فِعْلٌ قَلْبِيٌّ فَكَانَ الْمُنَاسِبُ التَّفْرِيعَ . (تحفة الحبيب على شرح الخطيب الباب كتاب الصلاة ج 2 ص 346 )
Bacaan Basmalah dalam Shalat
Masalah membaca Basmalah dalam fatihah shalat merupakan salah satu masalah besar dalam agama Islam karena menyangkut sah atau tidaknya shalat. Bagaimanakah hukum membaca basmalah dalam surat al-Fatihah ketika shalat? Dan kalau wajib, apakah harus dikeraskan bacaannya?
Membaca Basmalah merupakan ibadah yang paling besar sesudah tauhid, demikian dikatakan oleh Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu juz III, hal.334.
a. Menurut Madzhab Syafi’i, hukum membaca Basmalah dalam al-Fatihah ketika shalat adalah wajib, karena bacaan Basmalah itu salah satu ayat dari al-Fatihah yang menjadi rukun shalat itu sendiri.
وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعًا مِّنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيْمَ (الحجر: 87).
Dan sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu (hai Muhammad) tujuh yang berulang-ulang dan al-Qur’an yang agung. (QS. Al-Hijr: 87)
Imam Syafi’i berkata:
قَالَ الشَّافِعِيُّ: بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ اْلآيَةُ السَّابِعَةُ فَإِنْ تَرَكَهَا أَوْ بَعْضَهَا لَمْ تُجْزِهِ الرَّكْعَةُ الَّتِيْ تَرَكَهَا فِيْهَا
Imam syafi’i berkata, Bismillahirrahmanirrahim adalah termasuk ayat tujuh dari fatihah, kalau ditinggalkan semuanya atau sebagiannya tidaklah cukup rakaat shalat yang tertinggal membaca bismillahirrahmanirrahim dalam rakaat itu. (al-Umm, juz I, hal. 107).
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ إِذَا قَرَأَ وَهُوَ يَؤُمُّ النَّاسَ اِفْتَتَحَ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ.
Apabila Nabi membaca (surat al-Fatihah) dan menjadi imam manusia, maka Nabi memulai (bacaan surat al-Fatihah) dengan bacaan basmalah.
(Diriwayatkan dari Dar al-Quthni dalam kitab al-Majmu’, juz III, hal. 34).
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: إِذَا قَرَءْ تُمُ الْحَمْدُ ِللهِ فَاقْرَؤُوْا بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ أَنَّهَا أُمُّ الْقُرْآنِ وَأُمُّ الْكِتَابِ وَالسَّبْعُ الْمَثَانِي وَبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ أَحَدُ آياَتِهَا.
Dari Abu Hurairah ra, Nabi bersabda: Apabila kalian membaca surat al-Fatihah, maka bacalah basmalah. Sesungguhnya surat al-Fatihah adalah ummul qur’an, ummul kitab dan sab’ul matsani (tujuh ayat yang diulang-ulang), sedangkan basmalah adalah termasuk satu ayat dari surat al-Fatihah. (Diriwayatkan oleh Dar al-Quthni dalam kitab Tafsir Ayatul Ahkam, juz I, hal. 34)
عَنْ أَبِيْ عَبَّاس رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَفْتَتِحُ الصَّلاَةَ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ.
Diceritakan dari Ibnu Abbas, Bahwasannya Rasulullah itu memulai shalat dengan bacaan basmalah. (Diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dalam kitab Tafsir Ayatul Ahkam, juz I, hal. 47)
Dari keterangan di atas Basmalah termasuk salah satu ayat dari surat al-Fatihah. Membaca surat al-Fatihah dalam shalat termasuk rukunnya shalat. Bagi yang ber’itiqad kalau basmalah itu bukan salah satu ayat dari al-Fatihah maka shalatnya tidak sah dan batal.
Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa basmalah merupakan sebagian surat dari al-Fatihah, sehingga harus dibaca manakala membaca al-Fatihah dalam shalat. Dan juga basmalah disunnahkan untuk dikeraskan sebagaimana sunnahnya mengeraskan al-Fatihah dalam shalat jahriyyah (shalat yang disunnahkan untuk mengeraskan suara).
b. Menurut Madzhab Maliki, bahwa basmalah bukan merupakan satu ayat dari surat al-Fatihah bahkan bukan merupakan satu ayat dari al-Quran. Hal ini berdasarkan hadits nabi yang diriwayatkan ‘Aisyah Ra. (Diriwayatkan oleh Dar al-Quthni dalam kitab Tafsir Ayatul Ahkam, juz I, hal. 35)
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْتَتِحُ الصَّلَاةَ بِالتَّكْبِيْرِ وَالْقِرَاءَةِ بِالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Berdasarkan keterangan tersebut, maka tidak wajib membaca basmalah pada waktu fatihahnya shalat baik sirri atau keras.
Shalat Berjama’ah Dilakukan dengan Cepat
Para ulama’ seringkali menekankan agar menjalankan shalat dengan khusyu’, karena khusyu’ merupakan syarat diterimanya shalat kita di sisi Allah Swt. Akan tetapi banyak diantara golongan yang ketika shalat berjama’ah baik shalat fardhu maupun shalat sunnah dilakukan dengan cepat, terutama ketika shalat tarawih pada waktu bulan Ramadlan. Bagaimanakah hukum shalat berjama’ah yang dilakukan dengan cepat?
a. Tidak sah, apabila kehilangan tuma’ninah atau sampai menghilangkan huruf-huruf surat al-Fatihah.
قاَلَ قُطْبُ اْلإِرْشَادِ سَيِّدُنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ عَلْوِي اْلحَدَّادُ فيِ النَّصَائِحِ وَلْيَحْذَرْ مِنَ التَّخْفِيْفِ اْلمُفْرِطِ الَّذِيْ يَعْتَادُهُ كَثِيرٌ مِنَ اْلجَهَلَةِ فيِ صَلاَِتهِمْ لِلتَّرَاوِيْحِ حَتىَّ رُبمَّاَ يَقَعُوْنَ بِسَبَبِهِ فيِ اْلإِخْلاَلِ بِشَيْءٍ مِنَ اْلوَاجِبَاتِ مِثْلِ تَرْكِ الطُّمَأْنِيْنَةِ فيِ الرُّكُوْعِ وَالسُّجُوْدِ وَتَرْكِ قِرَاءَةِ اْلفَاتِحَةِ عَلىَ الْْوَجْهِ الًّذِيْ لاَ بُدَّ مِنْهُ بِسَبَبِ اْلعَجَلَةِ فَيَصِيْرُ أَحَدُهُمْ عِنْدَ اللهِ لاَ هُوَ صَلَّى فَفَازَ بِالثَّوَابِ وَلاَ هُوَ تَرَكَ فَاعْتَرَفَ بِالتَّقْصِيرْ ِوَسَلَّمَ مِنَ اْلإِعْجَابِ وَهَذِهِ وَمَا أَشْبَهَهَا مِنْ أَعْظَمِ مَكَايِدِ الشَّيْطَانِ ِلأَهْلِ اْلإِيمْاَنِ يُبْطِلُ عَمَلَ اْلعَامِلِ مِنْهُمْ عَمِلَهُ مَعَ فِعْلِهِ لِلْعَمَلِ فَاحْذَرُوْا مِنْ ذَلِكَ وََتنَبَّهُوْا لَهُ مَعَاشِرَ اْلإِخْوَانِ وَإِذَا صَلَّيْتُمْ التَّرَوِايْحَ وَغَيْرَهَا مِنَ الصَّلَوَاتِ فَأَتمُِّوْا اْلقِيَامَ وَاْلقِرَاءَةَ وَالرُّكُوْعَ وَالسُّجُوْدَ وَاْلخُشُوْعَ وَاْلحُضُوْرَ وَسَائِرَ اْلأَرْكَانِ وَاْلآدَابِ وَلاَ تَجْعَلُوْا لِلشَّيْطَانِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا فَإِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانُ عَلَى اَّلذِيْنَ آمَنُوْا وَعَلَى رَبهِِّمْ يَتَوَكَّلُوْنَ فَكُوْنُوْا مِنْهُمْ إِنمَّاَ سُلْطَانُهُ عَلَى اَّلذِيْنَ يَتَوَلَّوْنَهُ وَالَّذِيْنَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُوْنَ فَلاَ تَكُوْنُوْا مِنْهُمْ اهـ (اعانة الطالبين ج 1 ص 265 )
Quthbu al-Irsyad sayyidina Abdullah bin Alwi mengatakan di dalam kitab al-Nashaa’in, “Hindarilah pelaksanaan shalat dengan amat cepat seperti yang biasa dilakukan kebanyakan orang yang bodoh dalam melakukan shalat tarawih, yang karena sangat cepatnya mungkin mereka melewatkan sebagian rukun, seperti tanpa thuma’ninah di dalam ruku’ dan sujud, atau membaca surat al-Fatihah tidak dengan sebenarnya karena tergesah-gesa, sehingga shalat salah seorang di antara mereka tidak dinilai oleh Allah Swt. Sebagai shalat yang berpahala, tetapi mereka tidak dianggap meninggalkan shalat. Orang tersebut salam (menutup shalat) dengan bangga (karena bisa melaksanakannya secara cepat). Hal itu dan sejenisnya termasuk tipu daya syetan yang paling besar kepada orang yang beriman untuk merusak amal ibadah yang ia kerjakan. Karena itu, berhati-hatilah dan waspadalah wahai saudara-saudaraku. Apabila anda melaksanakan shalat tarawih dan shalat yang lain maka sempurnakanlah berdirinya, bacaan fatihahnya, ruku’nya, sujudnya, khusu’nya, hudhur-nya, rukun-rukunnya dan adabnya. Janganlah anda menjadikan setan sebagai penguasa diri anda, karena setan tidak mampu mengusai orang-orang yang beriman yang bertawakkal kepada Allah Swt., maka beradalah di dalam kelompok mereka, karena setan itu mampu menguasai orang-orang yang menolongnya dan orang-orang yang menyekutukan Allah Swt. Janganlah anda termasuk orang-orang ini. (I’anah al-thalibin juz 1 halaman 265)
b. Sah, selama masih memenuhi syarat dan rukun shalat itu sendiri, misalnya terpenuhi unsur tuma’ninah. Sesuai dengan hadits Nabi;
كَانَ أَخَفّ النَّاسِ صَلاَةً عَلىَ النَّاسِ وَأَطُوْلُ النَّاسِ صَلاَةً عَنِ النَّاسِ (الجامع الصغير الجزء 2 ص 100)
Nabi Saw. Itu orang yang paling cepat shalatnya ketika mengimami manusia dan orang yang paling lama ketika shalat sendiri. (al-Jami’ al-Shaghir, juz II, hal. 100)
Dan dalam kitab Bujarami ‘Ala al-Khatib juz 2 halaman 126 disebutkan: disunnahkan bagi imam untuk mempercepat shalat dengan tetap menjaga sunnah ab’ad dan sunnah hai’at.
وَيُنْدَبُ أَنْ يُخَفِّفَ الْإِمَامُ مَعَ فِعْلِ الْأَبْعَاضِ وَالْهَيْئَاتِ . ( بجيرامى على الخطيب الجزء 2 ص 126(
Hukum Membaca Do’a Qunut ketika Shalat Shubuh
Ada sebagian kalangan yang beranggapan bahwa membaca do’a qunut ketika shubuh adalah tidak sunnah. Bahkan haram hukumnya, karena Rasulullah Saw. tidak melaksanakannya. Bagaimanakah sebenarnya hukum membaca do’a qunut dalam shalat shubuh? Apakah benar Rasulullah tidak melaksanakannya?
a. Pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal mereka berpendapat bahwa shalat shubuh itu tanpa qunut karena Rasulullah tidak melakukan hal tersebut.
عَنْ سَعْدِ بْنِ طَارِقٍ الْأَشْجَعِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي ياَ أَبَتِ إِنَّكَ قَدْ صَلَََّيْتَ خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكَرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ أََفَكَانُوْا يَقْنِتُوْنَ فِي الْفَجْرِ؟ قَالَ أَيْ بُنَيَّ مُحْدَثٌ (رَوَاهُ الْخَمْسَةُ إِلَّا أَبَا دَاوُدَ) فَمِنَ الْحَدِيْثِ اَلنَّهْيُ عَنِ الْقُنُوْتِ فِي الصُّبْحِ وَبِهِ أَخَذَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ وَأَحْمَدُ. (إِبَانَةُ الْأَحْكَامِ، ج 1 ص 431)
Dari Said bin Thariq al-Asyja’i ra, ia berkata; aku pernah bertanya kepada ayahku wahai ayah! Sesungguhnya engkau pernah mengerjakan shalat di belakang Rasulullah Saw, Abu Bakar, Umar, Usman, Ali. Apakah mereka semua berdo’a qunut ketika shalat shubuh? Ayahku menjawab qunut itu termasuk perkara yang baru datang (HR. Khamsah kecuali Abu Dawud) dari hadis tersebut tercetuslah hukum berupa larangan qunut shubuh, seperti yang dipegang Abu Hanifah dan Imam Ahmad. (Ibanah al-Ahkam, juz I, hal. 431)
b. Ulama’ Syafi’iyah berpendapat bahwa hukum membaca qunut pada shalat shubuh termasuk sunnah ab’ad (apabila ditinggalkan maka sunnah melakukan sujud sahwi). Sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi;
مَذْهَبُنَا أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ الْقُنُوْتُ فِيْهَا سَوَاءٌ نَزَلَتْ نَازِلَةً أَمْ لَمْ تَنْزَلْ وَبِهَذَا قَالَ أَكْثَرُ السَّلَفِ وَمَنْ بَعْدَهُمْ أَوْ كَثِيْرٌ مِنْهُمْ وَممَِّنْ قَالَ بِهِ أَبُوْ بَكْرٍ الصِّدِّيْقِ وَعُمَرُبْنُ الْخَطَّابِ وَعُثْمَانُ وَعَلِيٌّ وَابْنُ عَبَّاسٍ وَالْبَرَّاءُ بْنُ عَازَبَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ (اَلْمَجْمُوْعُ شرح المهذب ج 3 ص 504)
Dalam madzhab kita (madzhab Syafi’i) disunnahkan membaca qunut dalam shalat shubuh, baik ada bala’ (bencana, cobaan, adzab dan lain sebagainya) maupun tidak, inilah pendapat kebanyakan ulama’ salaf dan setelahnya. Diantaranya adalah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman, Ali, Ibn Abbas dan al-Barra’ bin Azib ra. (al-Majmu’, Juz I, hal. 504)
Dalil yang bisa dibuat acuan adalah hadits Nabi Saw:
عَنْ أَنَسٍ بِنْ مَالِكٍ قَالَ مَازَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتىَّ فَارَقَ الدُّنْيَا (مُسْنَدُ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلَ رَقْمٌ 12196)
Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra. Beliau berkata; Rasulullah Saw. Senantiasa membaca qunut ketika shalat sampai beliau wafat. (Musnad Ahmad bin Hanbal, [12196])
Larangan qunut tersebut di atas dikomentari oleh Imam al-Sathi, dia berkata: Dasar hadis yang kemudian dikatakan bahwa qunut itu perkara yang baru datang, tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk melarang qunut. Hal ini sesuai dengan kaidah usul fiqih:
يَقْدُمُ الْمُثْبِتُ عَلَى النَّافِى لِاشْتِمَالِهِ عَلَى زِيَادَة ِعِلْمٍ (شَرْحُ نَظْمِ جَمْعِ الْجَوَامِعِ ج 2 ص 475)
Dalil yang menjelaskan adanya (terjadinya) suatu perkara, didahului oleh dalil yang menyatakan bahwa perkara tersebut tidak ada. Sebab adanya penjelasan pada suatu dalil, menunjukkan adanya pemberitahuan (ilmu) yang lebih pada dalil tersebut. (Syarah Nadzam Jam’ul Jawami’, juz II, hal. 475)
Dengan demikian membaca qunut dalam shalat shubuh merupakan hal yang disunnahkan dan tidak bertentangan dengan syari’at.
Mengusap Wajah setelah Salam ketika Shalat
Salah satu tradisi yang sering kita lihat setiap selesai shalat, orang-orang mengusap wajah dengan telapak tangan kanannya. Bagaimanakah hukumnya, apakah benar hal ini perbuatan bid’ah?
Di sunnahkan mengusap wajah dengan kedua telapak tangan setelah shalat karena shalat dari segi bahasa berarti do’a, sehingga orang yang melaksanakan shalat itu juga bisa dikatakan berdo’a kepada Allah Swt. Oleh karena itu sebenarnya mengusap wajah setelah salam dalam shalat bukanlah hal yang bisa dikatakan bid’ah ataupun hal yang tidak dibenarkan dalam ajaran Islam.
Imam al-Nawawi berpendapat;
(فَائِدَةٌ) قَالَ النَّوَوِيُّ فِي اْلأَذْكَارِ وَرَوَيْنَا فِي كِتَابِ ابْنِ السنى عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَضَى صَلاَتَهُ مَسَحَ وَجْهَهُ بِيَدِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ اَللَّهُمَّ اذْهَبِ الْهَمَّ وَالْحَزَنَ. (إعانة الطالبين، ج.1، ص.184-185)
(Faidah) Imam Nawawi dalam (kitabnya) al-Adzkar; Kami meriwayatkan (hadits) dalam kitabnya Ibn al-Sunni, dari sahabat Anas ra., bahwa Rasulullah Saw. Apabila selesai melaksanakan shalat, beliau mengusap wajahnya dengan tangan kanannya. Lalu berdo’a saya bersaksi tiada tuhan kecuali dzat yang maha pengasih dan penyayang. Ya Allah Swt., hilangkanlah dariku kebingungan dan kesusahan. (I’anah al-Thalibin, juz I, hal.184-185)
Dalam sebuah hadist disebutkan, setiap selesai berdo’a, Rasulullah Saw. Selalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.
عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا دَعَا فَرَفَعَ يَدَيْهِ وَمَسَحَ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ. (سنن أبي داود باب الدعاء الجزء 1 )
Dari Saib bin Yazid dari ayahnya: Apabila Rasulullah Saw. Berdo’a, beliau selalu mengangkat kedua tangannya lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya (Sunan Abi Dawud bab al-Do’a juz 1).
Tata Cara Sujud
Sujud merupakan salah satu dari rukun shalat yang dilakukan dengan cara meletakkan tujuh anggota tubuh, yaitu:
1. Kening
2. Telapak tangan kanan
3. Telapak tangan kiri
4. Ujung lutut kanan
5. Ujung lutut kiri
6. Ujung telapak kaki kanan
7. Ujung telapak kaki kiri
Kening dan kedua telapak tangan harus langsung bersentuhan dengan alas tempat sujudnya. (al-Bujairimi ‘Ala al-Khatib, juz I, hal. 35)
وَيَجِبُ وَضْعُ جُزْءٍ مِنْ رُكْبَتَيْهِ وَمِنْ بَاطِنِ كَفَّيْهِ وَمِنْ بَاطِنِ أَصَابِعِ قَدَمَيْهِ فِي السُّجُودِ لِخَبَرِ الشَّيْخَيْنِ : { أُمِرْت أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ : الْجَبْهَةِ ، وَالْيَدَيْنِ ، وَالرُّكْبَتَيْنِ ، وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ } . وَلَا يَجِبُ كَشْفُهَا بَلْ يُكْرَهُ كَشْفُ الرُّكْبَتَيْنِ كَمَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْأُمِّ
Sujud Syukur
Sujud syukur merupakan sujud yang dilakukan ketika mendapatkan kenikmatan dan kebahagian dari Allah Swt.
Lafadz niatnya adalah:
نَوَيْتُ سُنَّةً لِسُجُوْدِ الشُّكْرِ لِلَّهِ تَعَالَى
Dalam sujud syukur yang dibaca;
1. Tasbih 10 kali:
سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ
2. Shalawat 10 kali:
صَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ
3. Do’a sapu jagat 10 kali;
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَ فِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Membaca Wiridan Setelah Shalat
Sudah menjadi kebiasaan kaum muslimin, setelah melaksanakan shalat mereka membaca wirid, baik secara berjama’ah maupun sendirian. Apakah amaliyah tersebut ada dasar hukumnya?
Wirid merupakan bentuk dzikir yang berupa bacaan kalimat thayyibah yang dilakukan setiap saat dengan harapan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dan mendapat ridha serta ampunan-Nya. Di kalangan Nahdliyin, wiridan setelah shalat itu dilakukan secara bersama-sama yang diakhiri dengan do’a. Hal ini sesuai dengan perintah Allah Swt. yang berbunyi:
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اذْكُرُوا اللهَ ذِكْرًا كَثِْرًا وَسَبِّحُوْهُ بُكْرَةً وَّأَصِيْلاً (الأحزاب: 31-32)
Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah kepada Allah Swt. Dengan berdzikir yang banyak, dan bertasbihlah kepadanya, pagi dan sore. (Qs. Al-Ahzab: 31-32)
عَنِ الْبَرَاءِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَبَّحَ ِللهِ فِيْ دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثاً وَثَلاَثِيْنَ وَحَمِدَ اللهَ ثَلاَثاً وَثَلاَثِيْنَ وَكَبَّرَ ثَلاَثاً وَثَلاَثِيْنَ وَقَالَ تَمَامُ الْمِائَةِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٍ غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ اْلبَحْرِ.
Dari Bara’i, Nabi bersabda: Barang siapa (membaca) tasbih 33 kali, hamdalah 33 kali dan takbir 33 kali, lalu menyempurnakan (hitungan)100 kali dengan membaca kalimat:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
(Tiada tuhan selain Allah Swt., Dia sendirian, tidak ada yang menandingi-Nya, Dia memiliki kerajaan, Dia memiliki segala puji dan Dialah yang berkuasa atas sesuatau). (Irsyad al-‘Ibad, hal. 19. Sunan Abi Dawud)
Dengan demikian wiridan setelah shalat itu adalah hal yang sangat baik untuk dilakukan karena di dalamnya mengandung pujian-pujian kepada Allah Swt.
Hukum Menerjemahkan Bacaan dalam Shalat
Shalat merupakan bentuk ibadah kepada Allah Swt. Yang telah diajarkan oleh Nabi kepada umatnya mulai dari bentuk gerakan sampai ketentuan do’a yang dibaca. Surat al-Fatihah merupakan ayat yang wajib dibaca dalam shalat. Do’a dan ayat yang berbahasa arab kadang menjadi kendala bagi beberapa orang untuk memahami dan menghayati kandungan maknanya. Sehingga kemudian muncul inisiatif untuk menerjemahkan ke dalam bahasa selain Arab. Bagaimanakah pandangan ulama’ mengenai bacaan dalam shalat yang bacaannya diterjemahkan dalam bahasa selain Arab?
Dalam persoalan ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama’:
a. Menurut pendapat Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Dawud, shalat yang dilakukan baik bagi yang paham bahasa Arab maupun yang tidak paham, artinya dengan cara menerjemahkan ke bahasa selain Arab hukumnya tidak boleh dan shalatnya tidak sah.
قَالَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللهُ: (وَاِنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ بِالْفَارِسِيَّةِ لَمْ تُجْزِهِ، لِأَنَّ الْمَقْصُوْدَ مِنَ الْقُرْآنِ اللَّفْظُ وَذَلِكَ لَا يُوْجَدُ فِي غَيْرِهِ اَلشَّرْحُ) مَذْهَبُنَا أَنَّهُ لَا يُجَوِّزُ قِرَاءَةَ الْقُرْآنِ بِغَيْرِ لِسَانِ الْعَرَبِ سَوَاءٌ أَمْكَنَهُ اَلْعَرَبِيُّ أَوْ عَجَزَ عَنْهَا، سَوَاءٌ أَحْسَنَ الْقِرَاءَةِ أَمْ لَا، هَذَا مَذْهَبُنَا، وَبِهِ قَالَ مَاِلكٌ وَأَحْمَدُ، وَدَاوُدُ. ( مذاهب الأربعة ج. 1، ص. 269 )
b. Menurut pendapat Imam Abu Yusuf dan Muhammad adalah harus diperinci.
Shalatnya tidak sah bagi yang mampu baca al-Qur’an dan sah bagi yang tidak mampu baca al-Qur’an.
وَقَالَ أَبُوْ يُوْسُفَ وَمُحَمَّدُ: يَجُوْزُ لِلْعَاجِزِ دُوْنَ الْقَادِرِ (البجيرمي ج 2 ص 28)
c. Pendapat Imam Abu Hanifah shalatnya sah secara mutlak.
وَقَالَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ: تَجُوْزُ وَتَصِحُّ بِهِ الصَّلاَةُ مُطْلَقًا وَاحْتَجَ ِلأَبِي حَنِيْفَةَ بِقَوْلِهِ تَعَالَى"قُلِ اللهُ شَهِيْدٌ بَيْنِيْ وَبَيْنَكُمْ وَأُوْحِيَ إِلَيَّ هَذَا الْقُرْآنُ ِلأُنْذِرَكُمْ بِهِ" قَالُوْا وَالْعَجَمُ لاَ يَعْقِلُوْنَ اْلإِنْذَارَ إِلاَّ بِتَرْجَمَةٍ. وَفِي الصَّحِيْحَيْنِ: أَنَّ النَّبِيَّ صِلِّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "أُنْزِلَ الْقُرْآنُ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ". ( المجموع ج. 3 ، ص. 330 )
Cara Mendirikan Shalat di Pesawat
Setiap muslim mukallaf, di manapun dan kapanpun diwajibkan untuk melaksanakan shalat lima waktu. Termasuk pada saat berada di dalam pesawat terbang, adapun pelaksanaan shalat di dalam pesawat terbang ada beberapa cara (kaifiyah):
1. Bagi yang masih suci (berwudlu), ada dua cara:
a. Apabila dalam keadaan bisa melaksanakan dengan posisi berdiri, maka dilaksanakan dengan cara berdiri.
b. Apabila dalam keadaan tidak bisa dengan cara berdiri, maka dilaksanakan dengan cara duduk. (al-Majmu’ syarah al-Muhadzab, juz II, hal. 276)
وَذَكَرَ إِماَمُ الْحَرَمَيْنِ اِحْتِماَلاً فِيْ وُجُوْبِ اْلاِعاَدَةِ عَلَى الْمُصَلِّى قاَعِدًا لِنُدُوْرِهِ وَذَكَرَ الْبَغَوِيُّ فِيْ وُجُوْبِ اْلاِعاَدَةِ عَلَيْهِمْ كُلِّهِمْ قَوْلَيْنِ وَقاَلَ أَصَحُّهُمَا تَجِبُ كاَلْعاَجِزِ الَّذِىْ مَعَهُ مَاءٌ لَا يَجِدُ مَنْ يُوَضِّئُهُ بِهِ فَإِنَّهُ يَتَيَمَّمُ وَيُصَلَّى وَيُعِيْدُ وَالْمَذْهَبُ الصَّحِيْحُ الْمَشْهُوْرُ ماَ قَدَّمْتُهُ أَنَّهُ لاَ اِعاَدَةَ عَلَيْهِمْ لِأَنَّهُمْ عاَجِزُوْنَ فِي الْحاَلِ وَجِنْسُ عُذْرِهِمْ غَيْرُ ناَدِرٍ بِخِلاَفِ ماَ قاَسَ عَلَيْهِ الْبَغَوِيُّ
2. Bagi yang hadats dan tidak ada air untuk berwudlu’ serta tidak ada media tayamum, maka caranya sebagai berikut:
a. Melaksanakan niat shalat untuk menghormati waktu (Likhurmatil Waqti) dan wajib i’adah (mengulang shalatnya) setelah menemukan alat untuk bersuci.
( وَعَلَى فَاقِدِ ) الْمَاءِ وَالتُّرَابِ ( الطَّهُورَيْنِ ) كَمَحْبُوسٍ بِمَحِلٍّ لَيْسَ فِيهِ وَاحِدٌ مِنْهُمَا ( أَنْ يُصَلِّيَ الْفَرْضَ ) لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ ( وَيُعِيدَ ) إذَا وَجَدَ أَحَدَهُمَا. (حاشية الجمل على المنهاج الجزء 1 ص 229)
b. Menunda pelaksanaan shalat jika ada harapan ditemukannya salah satu alat bersuci, seperti yang telah dikatakan oleh Imam Al-Adhra’i.
وَلَا يُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ صَلَاتِهِ ضِيقُ الْوَقْتِ بَلْ إنَّمَا يَمْتَنِعُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ مَا دَامَ يَرْجُو أَحَدَ الطَّهُورَيْنِ كَمَا قَالَهُ الْأَذْرَعِيُّ وَهُوَ ظَاهِر. (شرح الجمل على المنهاج الجزء 1 ص 230)
Shalat ‘Ied Lebih Utama di Masjid atau di Lapangan
Pada hari raya idul fitri dan idul adha, umat islam disunnahkan untuk melaksanakan shalat ‘Ied (shalat hari raya), sehingga banyak di antara mereka yang melaksanakan shalat tersebut di masjid dan ada pula yang melaksanakan di lapangan terbuka. Manakah yang lebih utama?
a. Shalat di Masjid lebih utama
Firman Allah Swt.;
لاَ تَقُمْ فِيْهِ أَبَدًا لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُوْمَ فِيْهِ , فِيْهِ رِجَالٌ يُحِبُّوْنَ أَنْ يَتَطَهَّرُواْ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ (108)
Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguh- nya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalam mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Sesungguhnya Allah Swt. Menyukai orang-orang yang bersih. (QS. Al-Taubah:108)
Lebih lanjut dijelaskan lagi;
وَفِعْلُهَا بِمَسْجِدٍ أَفْضَلُ لِشَرَفِهِ إِلاَّ لِعُذْرٍ كَضَيْقِهِ (فتح الوهاب، ص. 83)
Mengerjakan shalat ‘Ied di masjid itu lebih utama (daripada di lapangan) karena kemulyaanya, kecuali ada halangan, seperti masjidnya sempit (tidak menampung jama’ah). (Fathu al-Wahab, hal. 83)
b. Boleh mengerjakan shalat ‘Ied di lapangan, karena mengikuti Rasulullah yang mengerjakan shalat ‘Ied di lapangan. Namun hal itu bukan tanpa alasan, beliau melakukannya karena masjid yang dibangun oleh beliau itu sempit sehingga tidak bisa menampung para jama’ah shalat ‘Ied. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj;
وَقِيْلَ فِعْلُهَا بِالصَّخْرَاءِ أَفْضَلُ لِـْلاِتْبَاعِ وَرَدَ أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا خَرَجَ إِلَيْهَا لِصِغَرِ مَسْجِدِهِ (تحفة المحتاج،ج. 3، ص.27)
Ada yang mengatakan bahwa shalat ‘Ied di lapangan itu lebih utama, karena ittiba’ (ikut perbuatan Nabi). Namun pernyataan ini dapat dibantah, karena sesungguhnya Nabi SAW melakukannya karena masjid yang beliau bangun terlalu kecil (sehingga tidak bisa menampung para jama’ah). (Tuhfah al-Muhtaj, juz III, hal.27)
Dengan demikian selama tidak ada hal yang bisa menyebabkan shalat ‘Ied dilaksanakan di lapangan, maka lebih utama melaksanakan shalat ‘Ied di masjid. Kecuali kalau memang masjid itu tidak dapat menampung para jama’ahnya, sehingga lebih utama shalat ‘Ied dilaksanakan di lapangan.
Asslam.wr.wb.
BalasHapusMohn izin kopas, semoga menjadikan ladang amal dan mendapat ridho Alloh SWT...Amiiin..
Wasalam
Dds
semoga manfaat di dunia akhirat amiin.
BalasHapus