BUKU GALAK GAMPIL INI MENERANGKAN TENTANG MASALAH-MASALAH FIQHIYAH DI TINJAU DARI BERBAGAI MACAM HUKUM

Rabu, 02 Juni 2010

KESUCIAN

BAB V

KESUCIAN

Junub

Junub adalah kondisi hadats yang menyebabkan seseorang dilarang untuk melakukan ibadah pada Allah Swt., seperti; mendirikan shalat, membaca al-Qur’an, masuk masjid dan lain sebagainya. Adapun sebab-sebab junub:

1. Melakukan senggama

2. Keluar air sperma

3. Haid

4. Nifas

5. Melahirkan

6. Meninggal dunia

Cara bersuci dari hadats ini adalah dengan cara mandi besar dengan niat tertentu.

Bagian Anggota Tubuh yang Terlepas bagi Orang yang Hadats Besar

Ketika seseorang yang sedang dalam keadaan hadats besar (junub) dan belum bersuci, sementara sebagian anggota tubuh ada yang lepas dari tubuhnya seperti rambut, kuku atau yang lainnya, apakah anggota tubuh yang putus tersebut wajib disucikan bersama dengan membasuh anggota badan yang sudah lepas seperti rambut, kuku dan lain-lain yang terlepas pada saat dalam kondisi hadats besar?:

a. Menurut Imam Ghazali, sebaiknya membasuhnya, karena bila anggota badan tersebut tidak dibasuh maka di akhirat akan dikembalikan dalam keadaan hadats.

وَاَمَّا قَوْلُ صَاحِبُ اْلاِحْياَءِ وَسَائِرُ أَجْزاَ الْجُنُبِ تُرَدُّ اِلَيْهِ فِي اْلأَخِرَةِ فَيَعُوْدُ اَىْ مَااُزِيْلَ قَبْلَ اْلغُسْلِ جُنُباً

Imam ghozali berpendapat: bagian-bagian anggota tubuh (yang terlepas) yang masih menanggung junub diakhirat akan dikembalikan dalam kondisi menanggung junub (hadats). (al-Qulyubi, juz I, hal. 67)

b. Menurut syekh Zainuddin bin Abdil Aziz al-Malibari, tidak wajib membasuh anggota badan yang sudah lepas, hanya diwajibkan pada anggota yang dzahir atau yang melekat saja.,

( وَ ) ثاَنِيْهِمَا ( تَعْمِيْمُ ) ظَاهِرُ ( بَدَنٍ حَتىَّ ) َاْلأَظْفاَرَ وَماَ تَحْتَهاَ وَ ( الشَّعْرَ ) ظَاهِرًا وَباَطِناً وَإِنْ كَثِفَ وَماَ ظَهَرَ مِنْ نَحْوِ مَنْبَتِ شَعْرَةٍ زَالَتْ قَبْلَ غَسْلِهاَ

Syarat yang kedua yaitu meratakan air pada seluruh anggota dzohir badan hingga kuku dan di bagian bawahnya, rambut bagian luar dan dalam, yakni tempat tumbuhnya rambut yang telah lepas sebelum mandi. (Fath al-Mu’in, hal. 10)

Sengaja Memotong Bagian Anggota Badan pada saat Sedang Hadats Besar

Bagaimana hukumnya orang yang sedang junub (hadats besar), kemudian sengaja memotong rambut, kuku atau anggota tubuh yang lainnya?

a. Makruh hukumnya bagi orang yang mempunyai hadats besar sengaja memotong bagian anggota badan, karena di akhirat nanti bagian yang dipotong akan dikembalikan dalam keadaan hadats besar. (I’anah at-Thalibin, juz I, hal.79)

( قَوْلُهُ وَيَنْبَغِيْ أَنْ لا َيَزِيْلُوْا إِلَخْ ) قَالَ فِي الْإِحْيَاءِ لَا يَنْبَغِي أَنْ يُقَلِّمَ أَوْ يَحْلِقَ أَوْ يَسْتَحِدَّ أَوْ يُخْرِجَ دَمًا أَوْ يُبَيِّنَ مِنْ نَفْسِهِ جُزْءًا وَهُوَ جُنُبٌ إِذْ يُرَدُّ إِلَيْهِ سَائِرُ أَجْزَائِهِ فِي اْلآخِرَةِ فَيَعُوْدُ جُنُباً وَيُقاَلُ إِنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُ بِجِناَبَتِهَا اهـ

b. Boleh hukumnya melakukan hal di atas dalam kondisi hadats besar.

وَمَنْ لَزِمَهُ غُسْلٌ يُسَنُّ لَهُ اَنْ لاَّ يُزِيْلَ شَيْأً مِنْ بَدَنِهِ وَلَوْدَمًا أَوْشَعْرًا أَوْظَفَرًا حَتَّى يَغْسِلُ لِأَنَّ كُلَّ جُزْءٍ يَعُوْدُ لَهُ فِى اْلاَخِرَةِ فَلَوْ إِزَلَهُ قَبْلَ اْلغُسْلِ عَادَ عَلَيْهِ الْحَدَثُ اْلأَكْبَرُ تَبْكِيْتاً لِلشَّخْصِ . (نهاية الزين ص 31)

Hukum Orang Junub Membaca al-Qur’an

Pada saat acara lomba tilawatil Qur’an lintas asrama dalam rangka Haflah Akhirus Sanah Pondok Pesantren Ngalah XVII 2006 seorang santri putri Pondok Pesantren Ngalah sedang mengikuti acara tersebut, hingga pada tahapan final dia mengalami keraguan untuk tampil, ketika ditanya ternyata dia sedang datang bulan (haid). Bagaimanakah hukum seseorang dalam kondisi junub/hadats besar membaca al-Qur’an?

a. Menurut Syafi’iyah; haram bagi orang yang junub dengan sengaja membaca al-Qur’an meskipun satu huruf.

اَلشَّافِعِيَّةُ قاَلُوْا يَحْرُمُ عَلَى الْجُنُبِ قِرَاءَةُ اْلقُرْأَنِ وَلَوْحَرْفًا وَاحِدًا اِنْ كاَنَ قاَصِدًا تِلاَوَتُهُ ...

Menurut ulama’ Syafi’iyah bagi orang junub diharamkan membaca al-Qur’an meskipun satu huruf dengan sengaja membacanya, dan seterusnya. (Madzahib al-Arba’ah, Juz I, hal. 112)

(فَرْعٌ) فِيْ مَذََاهِبِ اْلعُلَمَاءِ فِيْ قِرَاءَةِ الْجُنُبِ وَالْحاَئِضِ: مَذْهَبُناَ اَنَّهُ يَحْرُمُ عَلىَ الْجُنُبِ وَالْحَائِضِ قِرَاءَةُ اْلقُرْآنِ قَلِيْلُهَا وَكَثِيْرُهَا حَتىَّ بَعْضَ آيَةٍ وَبِهَذاَ قاَلَ اَكْثَرُ اْلعُلَمَاءِ

Menurut madzhab ulama’ (syafi’iyah) bagi orang junub dan bagi orang haid haram membaca al-Qur’an baik sebagian ayat maupun banyak dan pendapat ini yang lebih banyak (kuat). (al-Majmu’ juz II, hal. 178)

b. Menurut Imam Dawud; Boleh bagi orang junub membaca sedikit maupun banyak dari ayat al-Qur’an meskipun membacanya dengan disengaja.

وَقاَلَ دَاوُدُ يَجُوْزُ لِلْجُنُبِ وَالْحَائِضِ قِرَاءَةُ كُلِّ اْلقُرْآنِ وَرُوِىَ هَذاَ عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ وَابْنِ الْمُسَيَّبِ قاَلَ اْلقَاضِىُّ أَبُوْ الطَّيِّبِ وَابْنُ الصَّباَغِ وَغَيْرُهُمَا وَاخْتاَرَهُ اِبْنُ الْمُنْذِرِ وَقاَلَ مَالِكٌ يَقْرَأُ اَلْجُنُبُ َاْلآياَتِ اَلْيَسِيْرَةِ لِلتَّعَوُّذِ وَفِى الْحاَئِضِ رِوَايَتاَنِ عَنْهُ اَحَدَاهُمَا تَقْرَأُ وَالثَّانِيْ لاَ تَقْرَأُ وَقاَلَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ يَقْرَأُ الْجُنُبُ بَعْضَ آيَةٍ وَلاَ يَقْرَأُ آيَةً وَلَهُ رِوَايَةٌ كَمَذْهَبِناَ * وَاحْتَجَّ مَنْ جَوَّزَ مُطْلَقاً بِحَدِيْثِ عَائِشَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كاَنَ يَذْكُرُ اللهَ تَعَالَى عَلىَ كُلِّ أَحْياَنِهِ رَوَاهُ مُسْلِمٌ قَالُوْا وَالْقُرْآنُ ذِكْرٌ وَلِاَنَّ اْلاَصْلَ عَدَمُ التَّحْرِيْمِ . المجموع الجزء 2 ص 178 .

Menurut Imam Dawud bagi orang junub dan wanita haid boleh membaca seluruh al-Qur’an hal ini diriwayatkan dari ibnu Abbas dan ibnu Musayyab, Qadhi Abu Tayyib, Ibnu Shabbah, dan yang lain, dan pendapat ini dipilih oleh Ibnu Mundzir. Malik berkata orang junub boleh membaca ayat-ayat pendek karena meminta perlindungan. Dan bagi orang yang haid ada dua pendapat,yang pertama boleh yang kedua tidak boleh. Abu Hanifah berpendapat: “orang junub boleh membaca sebagian ayat dan tidak boleh membaca satu ayat penuh” dan baginya satu riwayat seperti madzhab kita. Dan orang yang membolehkan secara mutlak itu berdasarkan kepada hadits Siti A’isyah, sesungguhnya Nabi selalu berdzikir kepada Allah Swt. pada setiap saat, HR. Muslim, mereka berpendapat al-Qur’an tersebut adalah merupakan dzikir dan karena pada asalnya tidak ada keharaman. (al-Majmu’, juz II, hal.178)

Tidur yang Tidak Membatalkan Wudlu

Banyak hal-hal yang menyebabkan batalnya wudlu’, namun bagaimanakah dengan orang yang tidur apakah wudlu’nya menjadi batal?

Imam Madzahib al-Arba’ah mempunyai pandangan yang berbeda.

a. Menurut Imam Malik: Apabila tidurnya pulas (sekiranya orang tidur tidak merasakan peristiwa-peristiwa di sekitarnya) maka tidur seperti ini membatalkan wudlu’.

b. Menurut Imam Syafi’i: Apabila orang tersebut menetapkan pantatnya pada tempat duduk maka tidur seperti itu tidak membatalkan wudlu’.

c. Menurut Imam Abu Hanifah: Apabila tidurnya dalam keadaan berdiri, duduk/sujud (seperti tingkah shalat) maka tidak membatalkan shalat, bila selain keadaan seperti itu (tidur berbaring, tengkurap) maka tidur tersebut membatalkan wudlu’.

d. Menurut Imam Ahmad: Apabila tidurnya dengan posisi duduk/berdiri tidak membatalkan wudlu’ dan bila tidur selain kedua kondisi tersebut maka membatalkan wudlu’.

وَاخْتَلَفَ اَلْعُلَمَاءُ فِىْ نَقْضِ اْلوُضُوْءِ باِلنَّوْمِ فَنَظَرَ ماَلِكٌ اِلَى صِفَةِ النَّوْمِ فَقاَلَ اِنْ كاَنَ ثَقِيْلاً ( وَهُوَ اَلَّذِىْ لاَ يَحِسُّ صَاحِبُهُ بِمَا فَعَلَ بِحَضْرَتِهِ ) نَقَضَ اَلْوُضُوْءُ وَاِنْ كاَنَ خَفِيْفاً فَلاَ . وَنَظَرَ اَلشَّفِعِىُّ اِلَى صِفَةِ النَّائِمِ فَقاَلَ اِنْ نَامَ مُمَكِّناً مَقْعَدَتَهُ مِنَ اْلاَرْضِ لاَيَنْقُضُ وُضُؤُهُ وَاِلاَّ اِنْتَقَضَ . وَقاَلَ اَبُوْ حَنِيْفَةَ اِنْ نَامَ عَلَى حَالَةٍ مِنْ اَحْوَالِ الصَّلاَةِ (كَأَنْ ناَمَ قاَئِماً اَوْ قاَعِدًا اَوْسَاجِدًا ) لَمْ يَنْقُضْ اَلْوُضُوْءُ وَاِلاَّ نَقَضَ . وَقاَلَ اَحْمَدُ اِذاَ ناَمَ قاَعِدًا اَوْقاَئِمًا لَمْ يَنْقُضْ اَلْوُضُوْءُ وَاِلاَّ نَقَضَ .ابانة الاحكام ج 1 ص 124.

Para ulama’ berselisih pendapat mengenai apakah tidur itu bisa membatalkan wudlu’? imam Malik lebih memandang kepada sifatnya tidur itu sendiri, beliau mengatakan: apabila tidur tersebut kategori tidur pulas (sekira orang yang tidur tidak merasakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di depannya), maka tidur seperti ini membatalkan wudlu’, dan apabila tidur tersebut termasuk kategori ringan, maka tidaklah membatalkan wudlu’. Sedangkan Imam al-Syafi’i lebih memandang kepada sifatnya orang tidur tersebut. Beliau mengatakan: apabila orang tersebut tidur dengan menetapkan pantatnya pada bumi, maka tidur seperti ini tidaklah membatalkan wudlu’, dan apabila tidak menetapkan pantatnya, maka batAllah Swt. wudlu’nya. Abu Hanifah berkata: apabila seorang tidur dengan keadaan seperti tingkahnya orang yang sedang mengerjakan shalat (sambil berdiri, duduk atau sujud), maka tidaklah membatalkan wudlu’ dan apabila keadaannya tidak seperti itu, maka tidur tersebut membatalkan wudlu’. Imam Ahmad berkata: Apabila seseorang tidur dengan duduk atau berdiri, maka tidaklah membatalkan wudlu’, dan jika tidak sambil duduk atau berdiri, maka tidur tersebut membatalkan wudlu’. (Ibanah al-Ahkam, juz I, hal.124)

Minyak Beralkohol

Banyak sekali ditemukan minyak yang dicampur dengan campuran alkohol, hal ini dilakukan karena berbagai fungsi, antara lain untuk menekan udara dalam botol minyak. Bagaimanakah hukum minyak wangi yang dicampur dengan alkohol?

a. Menjadi najis, minyak yang dicampur alkohol, sebab alkohol itu termasuk cairan yang memabukkan, dan cairan yang memabukkan dihukumi najis.

( قَوْلُهُ أَيْضًا نَظَرًا لِأَصْلِهِمَا ) أَيْ فَمَا كَانَ مَائِعًا حَالَ إسْكَارِهِ كَانَ نَجِسًا ، وَإِنْ جَمَدَ وَمَا كَانَ جَامِدًا حَالَ الْإِسْكَارِ يَكُونُ طَاهِرًا ، وَإِنْ انْمَاعَ كَالْحَشِيشِ الْمُذَابِ وَكَالْكِشْكِ الْمُسْكِرِ حَالَ جُمُودِه (شرح الجمل على المنهاج الجزء 1 ص 170)

b. Tidak najis, sebab tidak memabukkan dan campurannya hanya untuk menjaga kebaikan komposisi minyak.

اَلْمَبْحَثُ الثَّالِثُ فِى تَعْرِيْفِ الْكُحُوْلِ الَّذِيْ اِسْتَفَدْناَهُ مِنْ كَلاَمِ مَنْ يَعْرِفُ حَقِيْقَتَهُ الَّذِيْ يَقْبَلُهُ الْحِسُّ مَعَ مَا رَاَيْناَهُ مِنْ اَلاَتِ صِنَاعَتِهِ وَهُوَ عُنْصُرُ بُخَارٍ يَجِدُ فِى الْمُتَخَمِّرَاتِ الْمُسْكِرَاتِ مِنَ الْأَشْرِبَةِ. فَبِوُجُوْدِهِ فِيْهَا يَحْصُلُ الْأِسْكَارُ وَيُوْجَدُ هَذَا الْكُحُوْلِ اَيْضًا فِى غَيْرِ الْأَشْرِبَةِ مِنْ مُتَخَمِّرَاتِ نَقِيْعِ اْلاَزْهَرِ وَاْلاَثْمَارِ الَّذِى يُتَّخَذُ طِيْبًا وَغَيْرُهُ كَمَا يُوْجَدُ مِنْ مَعْقُوْدِ الْخَشَبِ بِأَلَاتٍ حَدِيْدِيَّةٍ مَخْصُوْصَةٍ وَهَذَا الْأَخِيْرُ أَضْعَفُ الْكُحُوْلِ كَمَا اَنَّ اَقْوَاهُ الَّذِى يُوْجَدُ فِى الْعِنَبِ. ( المباحث الوفية للسيد عثمان البتاوي )

Pengertian alkohol sebagaimana yang kami dapatkan dari pernyataan orang yang mengetahui hakekatnya serta yang kami lihat dari peralatan industri pembutannya adalah merupakan sesuatu unsur yang dapat menguap yang terdapat pada minuman yang memabukkan. Keberadaannya akan mengakibatkan mabuk. Alkohol ini juga terdapat pada selain minuman, seperti pada rendaman air, bunga dan buah-buahan yang dibuat untuk wewangian dan lainnya, sebagaimana juga terdapat pada kayu-kayuan yang diproses dengan mempergunakan peralatan khusus dari logam. Dan yang terakhir ini merupakan alkohol dengan kadar paling rendah sedangkan yang terdapat pada perasa anggur merupakan alkohol dengan kadar tinggi. (al-Mabahits al-Wafiyyah Bab Najasah)

وَمِنْهَا اَىْ مِنَ الْمَعْفُوَاتِ . الْمَائِعَاتُ النَّجَسَةُ الَّتِى تُضَافُ اِلَى الْاَدَوِيَةِ وَالرَّوَائِحِ الْعِطْرِيَّةِ لِاَصْلَاحِهَا فَإِنَّهُ يُعْفَى عَنِ الْقَدْرِ الَّذِيْ بِهِ اْلاِصْلَاحُ قِيَاسًا عَلَى الْاَنْفِخَةِ الْمَصْلَحَةِ لِلْجَبِيْنِ.

Termasuk najis yang dima’fu (ditoleransi) adalah, cairan-cairan najis yang dicampurkan untuk komposisi obat-obatan dan parfum, cairan tersebut bisa ditoleransi dengan kadar yang memang diperlukan untuk komposisi yang seharusnya. Karena hal itu diqiaskan dengan usus babat yang digunakan untuk menambahkan kualitas mentega. (Al-Fiqhu ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, juz I, hal.25)

Media Tayammum

Dalam literatur fiqih dapat difahami bahwa tayamum adalah bersuci dengan menggunakan selain air. Hal ini diperbolehkan sebagai alternatif bersuci karena beberapa faktor, misalnya kesulitan menemukan air, madlarat yang ditimbulkan oleh air terhadap bagian tubuh misalnya:ketika sakit, dan lain-lain.

Adapun media tayammum menurut para ulama’ adalah:

a. Menurut Imam Syafi’i dan Imam Hambali, menggunakan debu.

b. Menurut Madzhab Maliki dan madzhab Hanafi adalah segala sesuatu yang termasuk bagian dari bumi, misalnya; debu, tanah, salju, batu kapur. (Al-Mizan al-Kubra juz I, hal.132)

وَأَمَّا ماَاخْتَلَفُوْا فِيْهِ فَمِنْ ذٰلِكَ قَوْلُهُ اْلاِمَامُ الشَّافِعِىُّ وَأَحْمَدُ إِنَّ الصَّعِيْدَ فِى اْلأَيَةِ هُوَ التُّرَابُ فَلاَ يَجُوْزُ التَّيَمُّمُ إِلاَّ بِتُرَابٍ طَاهِرٍ أَوْ بِرَمْلٍ , فِيْهِ غُباَرٌ مَعَ قَوْلِهِ أَبِيْ حَنِيْفَةَ وَ مَالِكٍ الصَّعِيْدُ هُوَ نَفْسُ اْلأَرْضِ فَيَجُوْزُ التَّيَمُّمُ بِجَمِيْعِ أَجْزَاءِ اْلأَرْضِ وَلَوْ بِحَجَرٍ لاَتُرَابَ عَلَيْهِ وَرَمْلٍ لاَ غُباَرَ فِيْهِ (الميزان الكبرى : 1: 132)

Namun demikian madzhab empat (Syafi’i, Hambali, Maliki dan Hanafi), sepakat bahwa tayammum tidak sah bila menggunakan benda yang telah dimasak atau diproses, seperti arang kayu dan plastik.

Hukum Sesuatu yang Terbuat dari Kotoran atau Benda Najis (Studi Kasus Biogas)

a. Boleh (dihukumi suci)

Ø Menurut Syekh Abi Abdul Mukti atau Imam Nawawi al-Bantani al-Jawi dalam kitabnya Kasyifah al-Saja halaman 21, bahwasanya hukum biogas yang dihasilkan dari benda najis (seperti kotoran manusia atau kotoran hewan) adalah diperbolehkan dan dihukumi suci, dengan alasan karena biogas adalah termasuk bukhor (istilah Arab) yang berarti uap.

وَخَرَجَ بِدُخَانِ النَّجَاسَةِ بُخَارُهَا وَهُوَ الْمُـتَصَاعِدُ مِنْهَا لاَ بِوَاسِطَةِ نَارٍ فَهُوَ طَاهِرٌ وَمِنْهُ الرِّيْحُ الْخَارِجُ مِنَ الْكُـنُـفِ أَوْ مِنَ الدُّبُرِ فَهُوَ طَاهِرٌ فَلَوْ مَلاَأَ مِنْهُ قِرْبَةٌ وَحَمَلَهَا عَلَى ظَهْرِهِ وَصَلَّى بِهَا صَحَّتْ صَلاَ تـُُهُ

Tidak termasuk dalam asapnya benda najis, yaitu uap dari benda najis yang tidak disebabkan oleh api, maka uap ini adalah suci. Demikian halnya dengan angin yang keluar dari jamban (sapiteng) atau kentut yang keluar dari dubur juga dihukumi suci. Bahkan seandainya qirbah (sejenis wadah air atau susu yang terbuat dari kulit) berisi penuh dengan angin atau uap tersebut, kemudian seseorang shalat dengan membawa qirbah tersebut di atas punggungnya, maka shalatnya dihukumi sah. (Kasyifah al-Saja hal. 21)

Ø Menurut Imam al-Bujairami, uap atau angin (biogas) yang dihasilkan dari benda najis termasuk suci menurut qoul yang rajih (unggul), karena angin tersebut berasal dari asap benda najis yang tidak menggunakan perantara atau media api.

قَوْلُهُ: ( طَاهِرًا ) وَمِنْهُ الرِّيحُ عَلَى الرَّاجِحِ ؛ لِأَنَّهُ مِنْ بُخَارِ النَّجَاسَةِ بِغَيْرِ وَاسِطَةِ نَارٍ ق ل . وَنَصَّ م ر عَلَى أَنَّ الْبُخَارَ الْخَارِجَ مِنْ الْكَنِيفِ طَاهِرٌ ، وَكَذَا الرِّيحُ الْخَارِجُ مِنْ الدُّبُرِ كَالْجُشَاءِ ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَتَحَقَّقْ أَنَّهُ مِنْ عَيْنِ النَّجَاسَةِ لِجَوَازِ أَنْ تَكُونَ الرَّائِحَةُ الْكَرِيهَةُ الْمَوْجُودَةُ فِيهِ لِمُجَاوَرَةِ النَّجَاسَةِ لَا أَنَّهُ مِنْ عَيْنِهَا .

Qoul Kyai mushonnif, (suci) uap atau angin termasuk suci menurut qoul yang rajih (unggul), karena angin tersebut berasal dari asap benda najis yang tidak menggunakan perantara atau media api (Imam Qoffal). Dan Imam Ramli juga menegaskan bahwa asap yang keluar dari WC atau kandang ternak itu suci, begitu juga angin yang keluar dari dubur atau anus seperti serdawa (perut mual) karena belum tentu serdawa tersebut berasal dari benda (ain) yang najis, dan kemungkinan bau busuk atau menjijikkan yang ada di dalamnya itu disebabkan karena dekatnya dengan najis bukan dari benda najisnya. (Hasyiyah al-Bujairami ‘ala al-Khatib juz 1 hal 202-203)

b. Tidak Boleh (tetap dihukumi najis)

Ø Menurut pendapat Syekh Sulaiman al-Jamal dalam kitabnya “Hasyiyah al-Jamal” pada bab al-Najasati Waa Izalatiha juz 1 hal 179 dijelaskan sebagai berikut:

Termasuk kategori asap yaitu benda atau angin yang dihasilkan dari pembakaran kotoran hewan hingga menjadi bara api (mowo) yang tidak berasap, akan tetapi uap atau asap yang keluar dari proses pembakaran kotoran tersebut dihukumi najis, karena melalui perantara api. Dan apabila ada sesuatu yang disulutkan dari bara api ini seperti tangan anda dan tempat tinta (tabung asap), akhirnya ada kelembaban (basah) disalah satu sisi keduanya, sampai-sampai benda yang suci menjadi najis karenanya, maka asap yang naik atau muncul itu hukumnya najis, bila tidak maka sebaliknya”.

( قَوْلُهُ وَبُخَارُهَا كَذَلِكَ إلَخْ ) ، وَمِنْهُ مَا يَقَعُ مِنْ حَرْقِ الْجُلَّةِ حَتَّى تَصِيرَ جَمْرًا لَا دُخَانَ فِيهِ لَكِنْ يَصْعَدُ مِنْهُ بُخَارٌ فَهُوَ نَجِسٌ ؛ لِأَنَّهُ بُخَارٌ بِوَاسِطَةِ نَارٍ ، وَلَوْ أُوقِدَ مِنْ هَذَا الْجَمْرِ شَيْءٌ كَيَدِك وَدَوَاةِ دُخَانٍ ، فَإِنْ كَانَ هُنَاكَ رُطُوبَةٌ مِنْ أَحَدِ الْجَانِبَيْنِ بِحَيْثُ يَتَنَجَّسُ بِهَا الطَّاهِرُ كَانَ الدُّخَانُ الْمُتَصَاعِدُ نَجِسًا وَإِلَّا فَلَا ا هـ عَزِيزِيٌّ . (حاشية الجمل على المنهاج باب النجاسة وازالتها الجزء 1 ص 179)

Ø Menurut ulama’ madzhab Syafi’i bahwa asap dari benda najis bila terbakar maka ada dua pendapat:

a. Najis, karena termasuk bagian yang terurai dari najis, seperti abu yang keluar dari suatu benda najis.

b. Tidak najis, karena asap tersebut adalah asap dari suatu benda najis, seperti angin kentut yang keluar dari perut. Hal ini diterangkan dalam kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab juz 2 hal 533.

قَالَ اَلْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ الله ُ* [ وَأَمَّا دُخَانُ النَّجَاسَةِ إِذَا أَحْرَقَتْ فَفِيْهِ وَجْهَانِ اَحَدُهُمَا اَنَّهُ نَجِسٌ ِلاَنَّهَا اَجْزَاءٌ مُتَحَلِّلَةٌ مِنَ النَّجَاسَةِ فَهُوَ كَالرَّمَادِ وَالثَّانِى لَيْسَ بِنَجَسٍ ِلاَنَّهُ بُخَارُ نَجَاسَةِ فَهُوَ كَاْلبُخَارِ اَلَّذِىْ يَخْرُجُ مِنَ الْجَوْفِ ] * (المجموع شرح المهذب ج 2 ص 533)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar