BUKU GALAK GAMPIL INI MENERANGKAN TENTANG MASALAH-MASALAH FIQHIYAH DI TINJAU DARI BERBAGAI MACAM HUKUM

Rabu, 02 Juni 2010

SHALAT JUM'AT

BAB VIII

SHALAT JUM’AT

Pembagian Golongan Ahli Shalat Jum’at

Orang muslim dalam masalah kesempurnaan shalat Jum’at terbagi menjadi 6 macam golongan, yaitu:

1. Orang yang wajib mengikuti shalat jum’at, serta sah dan mengesahkan shalat jum’at orang lain. Yang dimaksud pada golongan ini adalah shalat jum’atnya orang-orang yang memenuhi syarat wajib shalat jum’at (Islam, baligh, berakal, merdeka, mukim, laki-laki, sehat).

2. Orang yang wajib mengikuti shalat jum’at, akan tetapi tidak bisa mengesahkan shalat jum’at orang lain. Yang dimaksud golongan ini adalah shalat jum’at orang-orang yang bermukim tetapi tidak menetap (berpindah-pindah).

3. Orang yang wajib mengikuti shalat jum’at, akan tetapi shalatnya tidak sah dan tidak bisa mengesahkan shalat jum’at orang lain, yaitu orang murtad.

4. Orang yang tidak wajib shalat jum’at, shalatnya tidak sah dan tidak bisa mengesahkan shalat jum’at, yaitu shalat jum’atnya orang kafir.

5. Orang yang tidak wajib shalat jum’at, sedangkan shalat jum’at sah tapi tidak bisa mengesahkan shalat jum’at orang lain, yaitu shalat jum’at anak kecil yang tamyiz, budak, wanita, banci, musafir.

6. Orang yang tidak wajib shalat jum’at, tetapi shalat jum’atnya sah dan bisa mengesahkan shalat jum’at orang lain, yaitu shalat jum’at orang sakit dan orang yang udzur. (I’anah al-Thalibin, juz I, hal.54)

( وَاعْلَمْ ) أَنَّ النَّاسَ فِي الْجُمْعَةِ سِتَّةُ أَقْسَامٍ أَوَّلُهَا مَنْ تَجِبُ عَلَيْهِ وَتَنْعَقِدُ بِهِ وَتَصِحُّ مِنْهُ وَهُوَ مَنْ تَوَفَّرَتْ فِيْهِ الشُّرُوْطُ كُلُّهَا وَثاَنِيْهَا مَنْ تَجِبُ عَلَيْهِ وَلاَ تَنْعَقِدُ بِهِ وَتَصِحُّ مِنْهُ وَهُوَ الْمُقِيْمُ غَيْرُ الْمُسْتَوْطِنِ وَمَنْ سَمِعَ نِدَاءَ الْجُمْعَةِ وَهُوَ لَيْسَ بِمَحَلِهَا وَثاَلِثُهَا مَنْ تَجِبُ عَلَيْهِ وَلاَ تَنْعَقِدُ بِهِ وَلاَ تَصِحُّ مِنْهُ وَهُوَ الْمُرْتَدُّ فَتَجِبُ عَلَيْهِ بِمَعْنَى أَنَّنَا نَقُوْلُ لَهُ أَسْلَمَ وَصَلَ الْجُمْعَةُ وَإِلاَّ فَلاَ تَصِحُّ مِنْهُ وَلاَ تَنْعَقِدُ بِهِ وَهُوَ باَقٌ بِحَالِهِ وَرَابِعُهَا مَنْ لاَ تَجِبُ عَلَيْهِ وَلاَ تَنْعَقِدُ بِهِ وَلاَ تَصِحُّ مِنْهُ وَهُوَ اْلكاَفِرُ اْلأَصْلِيُّ وَغَيْرُ الْمُمَيِّزِ مِنْ صَغِيْرٍ وَمَجْنُوْنٍ وَمَغْمَى عَلَيْهِ وَسَكْرَانٍ عِنْدَ عَدَمِ التَّعَدِّيْ وَخاَمِسُهَا مَنْ لاَ تَجِبُ عَلَيْهِ وَلاَ تَنْعَقِدُ بِهِ وَتَصِحُّ مِنْهُ وَهُوَ الصَّبِيُّ الْمُمَيِّزُ وَالرَّقِيْقُ وَغَيْرُ الذَّكَرِ مِنْ نِسَاءٍ وَخُنَاثَى وَالْمُسَافِرِ وَسَادِسُهَا مَنْ لاَ تَجِبُ عَلَيْهِ وَتَنْعَقِدُ بِهِ وَتَصِحُّ مِنْهُ وَهُوَ الْمَرِيْضُ وَنَحْوُهُ مِمَّنْ لَهُ عُذْرٌ مِنَ اْلأَعْذَارِ الْمُرَخَّصَةِ فِيْ تَرْكِ الْجُمْعَةِ (إعانة الطالبين، ج 1 ص 54)

Shalat Jum’at bagi TNI, POLRI, Satpam dan Banser yang Sedang Bertugas

TNI dan Polisi adalah perangkat negara yang betugas menjaga keamanan negara dan masyarakat, namun dalam menjalankan tugasnya terkadang ia harus meninggalkan hal-hal yang diwajibkan agama seperti tidak dapat melaksanakan shalat jum’at. Bagaimanakah hukum meninggalkan shalat jum’at karena tuntutan tugas?

Tidak diwajibkan mengikuti shalat jum’at bagi aparat keamanan baik Polisi, TNI, Satpam ataupun Banser pada saat menjalankan tugas untuk menjaga keamanan harta benda atau menjaga keamanan seseorang yang sedang terancam.

وَلاَ تَجِبُ عَلَى الْخَائِفِ عَلَى نَفْسِهِ اَوْمَالِهِ لِماَّ رَوَى اِبْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يُجِبْهُ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ اِلاَّ مِنْ عُذْرٍ قَالُوْا يَارَسُوْلَ اللهِ وَمَا الْعُذْرُ ؟ قَالَ خَوْفٌ اَوْ مَرَضٌ . المهذب ج 1 ص 178 .

Tidak diwajibkan shalat jum’at bagi orang yang khawatir pada keamanan diri dan hartanya, berdasarkan riwayat Ibnu Abbas ra. Sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda “Barang siapa mendengarkan adzan dan dia tidak menjawabnya maka tidak dianggap shalat baginya, kecuali karena udzur”. Sahabat bertanya, “Apakah udzurnya Ya Rasulallah Swt.? Rasulullah menjawab” Udzurnya adalah khawatir atau sakit”. (al-Muhadzab, juz I, hal.109)

Hukum Shalat Jum’at bagi Wanita.

Selain shalat lima waktu, umat Islam juga diwajibkan untuk melaksanakan shalat jum’at. Tetapi apakah kewajiban itu juga berlaku bagi wanita?

Bagi laki-laki yang baligh, berakal, bukan budak wajib hukumnya melaksanakan shalat jum’at sesuai dengan rukun dan syarat tertentu. Akan tetapi bagi wanita boleh melaksanakan shalat jum’at, namun tidak menjadikan wajib bagi mereka seperti halnya orang laki-laki yang berpergian dan yang berstatus budak.

يَجُوْزُ لِمَنْ لاَ تَلْزَمُهُ الْجُمْعَةُ كَعَبْدٍ وَمُسَافِرٍ اَوْ اِمْرَاَةٍ يُصَلِّى الْجُمْعَةَ بَدَلاً عَنِ الظُّهْرِ وَيُجْزِئُهُ بَلْ هِيَ اَفْضَلٌ ِلاَنَّهَا فَرْضٌ ِلاَهْلِ الْكَمَالِ وَلاَ تَجُوْزُ اِعَادَتُهَا بَعْدُ حَيْثُ كَمُلَتْ شُرُوْطُهَا (بغية المسترشدين فى باب الصلاة الجمعة, ص 78-79 . و فى المهذب وموهبة ذى الفضل)

Diperkenankan bagi wanita yang tidak berkewajiban jum’at seperti budak, musafir, dan wanita untuk melaksanakan shalat jum’at sebagai pengganti Dzuhur, bahkan shalat jum’at lebih baik, karena merupakan kewajiban bagi mereka yang sudah sempurna memenuhi syarat dan tidak boleh diulangi dengan shalat Dzuhur sesudahnya, sebab semua syarat-syaratnya sudah terpenuhi secara sempurna. (Bughyah al-Mustarsyidin bab shalat jum’at hal.78-79, dan dalam kitab al-Muhadzab, dan Mauhibah Dzi al-Fadhal).

Dari keterangan tersebut dapat dipahami bahwa bagi wanita, musafir dan budak laki-laki tidak wajib melaksanakan shalat jum’at namun boleh memilih untuk melaksanakan shalat jum’at sebagai ganti shalat dhuhur atau melaksanakan shalat dhuhur tanpa shalat jum’at.

Hukum Mendirikan Shalat Jum’at di Dua Masjid dalam Satu Desa

Dalam satu desa bagi umat Islam wajib mendirikan jama’ah shalat jum’at. Namun kadang dalam satu desa terdapat dua atau tiga masjid untuk pelaksanaan shalat jum’at. Bagaimanakah hukum mendirikan shalat jum’at di dua masjid dalam satu desa?

Ulama’ berbeda pendapat tentang shalat jumat yang dilaksanakan di dua masjid dalam satu desa:

a. Tidak boleh mendirikan shalat jum’at lebih dari satu tempat dalam satu desa.

الثَّالِثُ مِنَ الشُّرُوْطِ اَنْ لاَيُسَابِقَهَا وَلاَيُقَارِنَهَا جُمْعَةٌ فِيْ بَلْدَتِهَا وَاِنْ كَانَتْ عَظِيْمَةً وَكَثُرَتْ مَسْجِدُهَا ِلاَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْخُلَفَاءَ مِنْ بَعْدِهِ لَمْ يُقِيْمُوْا سِوَى جُمْعَةٍ وَاحِدَةٍ اِلَى اَنْ قَالَ اِلاَّ اِذَا كَبُرَ اَيُّ الْبَلَدِ وَعَسُرَ اجْتِمَاعُهُمْ يَقِيْنًا عَادَةً فِيْ مَكَانِ مَسْجِدٍ اَوْغَيْرِهِ.

Syarat yang ketiga adalah tidak boleh mendahului dan bersamaan pelaksanaan shalat jum’at satu sama lain dalam satu desa. Karena Nabi dan orang-orang setelahnya tidak pernah mendirikan jum’at yang lain dalam satu desa, kecuali daerahnya memang luas yang pasti menyebabkan kesulitan berkumpul dalam satu masjid. (Nihayah al-Muhtaj, juz II, hal.289)

b. Boleh mendirikan shalat jum’at lebih dari satu masjid dalam suatu desa apabila satu masjid sudah tidak bisa menampung para jama’ah, masyarakatnya tidak dapat di persatukan lagi dan wilayah desanya luas.

وَالْحَاصِلُ مِنْ كَلاَمِ اْلأَئِمَّةِ أَنَّ أَسْبَابَ جَوَازِ تَعَدُّدِهَا ثَلاَثَةٌ : ضَيِّقُ مَحَلِ الصَّلاَةِ بِحَيْثُ لاَ يَسَعُ الْمُجْتَمِعِيْنَ لَهَا غَالِباً ، وَالْقِتَالُ بَيْنَ الْفِئَتَيْنِ بِشَرْطِهِ ، وَبَعُدَ أَطْرَافُ اْلبَلَدِ بِأَنْ كَانَ بِمَحَلٍ لاَ يَسْمَعُ مِنْهُ النِّدَاءِ ، أَوْ بِمَحَلٍ لَوْ خَرَجَ مِنْهُ بَعْدَ الْفَجْرِ لَمْ يَدْرِكُهَا ، إِذْ لاَ يَلْزَمُهُ السَّعْيُ إِلَيْهَا إِلاَّ بَعْدَ الْفَجْرِ اهـ.

c. Boleh secara mutlaq, namun menurut imam Ismail al-Zain jumlah jama’ah tidak kurang dari 40 orang.

قَالَ الشَّيْخُ اِسْمَاعِيْلُ الزَّيْنُ اَمَّامَسْأَلَةُ تَعَدُّدُ الْجُمْعَةِ فَالظَّاهِرُ جَوَازُ ذٰلِكَ مُطْلَقًا بِشَرْطِ اَنْ لاَ يُنْقَصُ عَدَدُ كُلٍّ عَنْ اَرْبَعِيْنَ رَجُلاً.

Menurut syaikh Ismail al-Zain, masalah bilangan pelaksanaan shalat jum’at diperbolehkan secara mutlak (terlepas dari faktor-faktor penyebabnya) dengan syarat (jama’ahnya) tidak kurang dari empat puluh orang laki-laki. (Qurrah al-Aini, hal.83, Mizan al-Kubra, juz I, hal 209)

Mendirikan Jama’ah Shalat Jum’at Kurang dari 40 Orang.

Dalam suatu desa pelaksanaan shalat jum’at ada yang dilakukan kurang dari 40 orang. Bagaimanakah hukum mendirikan shalat jum’at dengan jama’ah yang kurang dari 40 orang?

Para ulama’ berbeda pendapat mengenai bilangan jama’ah shalat jum’at, adapun pendapat mereka secara terperinci adalah sebagai berikut:

a. Menurut Imam an-Nakha’i dan Ahli Dhahiri, cukup 2 orang muslim mukallaf, (seperti halnya shalat jama’ah biasa).

b. Menurut Abi Yusuf, Imam Muhammad dan al-Laits, 2 muslim mukallaf, dengan imam.

c. Menurut Imam Abi Hanifah dan Sufyan al-Tsaury, 3 orang muslim mukallaf dengan imam.

d. Menurut Ikrimah, 7 orang muslim mukallaf.

e. Menurut Rabi’ah, 9 orang muslim mukallaf.

f. Menurut Rabi’ah, 12 orang muslim mukallaf, diriwayatkan Imam malik juga berpendapat demikian.

g. Menurut Imam Ishaq, 12 orang muslim mukallaf selain imam (12 orang makmum dan 1 orang imam= 13 orang).

h. Menurut riwayat Ibnu Habib dari Imam Malik, 20 orang.

i. Menurut Imam Malik, harus ada 30 muslim mukallaf.

j. Menurut Imam Syafi’i, harus 40 muslim mukallaf (pendapat yang lebih unggul).

k. Menurut Imam Syafi’i, Umar bin Abdul Aziz dan sebagian golongan, harus 40 muslim mukallaf, selain imam.

l. Menurut Imam Ahmad, harus 50 muslim mukallaf.

m. Menurut Imam al-Maziri, 80 orang muslim mukallaf.

n. Menurut sebagian golongan ulama’ Malikiyah tanpa batasan hitungan.

Diterangkan dalam kitab Hasyiyah al-Bujairami ‘Ala al-Khatib bab Syurutu Sikhati Shalat Al-Jum’at juz 2 halaman 190.

وَتَأَمَّلْ هَذَا الْقَوْلَ مَعَ أَنَّهُمْ أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الْجَمَاعَةَ شَرْطٌ فِي صِحَّتِهَا كَمَا فِي شَرْحِ الْمِشْكَاةِ لِابْنِ حَجَرٍ وَعِبَارَتُهُ : وَفِيهِ أَيْ قَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : { الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ } أَنَّ الْجَمَاعَةَ شَرْطٌ فِي صِحَّتِهَا وَهُوَ إجْمَاعٌ وَإِنَّمَا اخْتَلَفُوا فِي الْعَدَدِ الَّذِي تَحْصُلُ بِهِ وَمَذْهَبُنَا أَنَّهُ لَا بُدَّ مِنْ أَرْبَعِينَ كَامِلِينَ .الثَّانِي : اثْنَانِ كَالْجَمَاعَةِ وَهُوَ قَوْلُ النَّخَعِيِّ وَأَهْلِ الظَّاهِرِ .الثَّالِثُ : اثْنَانِ مَعَ الْإِمَامِ عِنْدَ أَبِي يُوسُفَ وَمُحَمَّدٍ وَاللَّيْثِ .الرَّابِعُ : ثَلَاثَةٌ مَعَهُ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ وَسُفْيَانٍ الثَّوْرِيِّ .الْخَامِسُ : سَبْعَةٌ عِنْدَ عِكْرِمَةَ .السَّادِسُ : تِسْعَةٌ عِنْدَ رَبِيعَةَ .السَّابِعُ : اثْنَا عَشَرَ عِنْدَ رَبِيعَةَ أَيْضًا فِي رِوَايَةٍ وَمَالِكٍ .الثَّامِنُ : مِثْلُهُ غَيْرُ الْإِمَامِ عِنْدَ إِسْحَاقَ .التَّاسِعُ : عِشْرُونَ فِي رِوَايَةِ ابْنِ حَبِيبٍ عَنْ مَالِكٍ .الْعَاشِرُ : ثَلَاثُونَ كَذَلِكَ .الْحَادِيَ عَشَرَ : أَرْبَعُونَ بِالْإِمَامِ عِنْدَ الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ .الثَّانِي عَشَرَ : أَرْبَعُونَ غَيْرُ الْإِمَامِ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ أَيْضًا ، وَبِهِ قَالَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَطَائِفَةٌ .الثَّالِثَ عَشَرَ : خَمْسُونَ عِنْدَ أَحْمَدَ فِي رِوَايَةٍ وَحُكِيَتْ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ .الرَّابِعَ عَشَرَ : ثَمَانُونَ حَكَاهُ الْمَازِرِيُّ .الْخَامِسَ عَشَرَ : جَمْعٌ كَثِيرٌ بِغَيْرِ حَصْرٍ .وَلَعَلَّ هَذَا الْأَخِيرَ أَرْجَحُهَا مِنْ حَيْثُ الدَّلِيلِ قَالَهُ فِي فَتْحِ الْبَارِي ا هـ حاشية البجيرمى على الخطيب الباب شروط صحة الصلاة الجمعة ج 2 ص 190 .

Keterangan yang sama juga terdapat dalam kitab I’anah al-Thalibin, juz II, hal.57 dan Bughyah al-Mustarsyidin, hal.81).

Hukum Adzan Dua Kali Sebelum Shalat Jum’at

Pelaksanaan shalat jum’at umumnya diawali dengan adanya adzan pertama sebagai tanda masuknya waktu dhuhur dan adzan kedua mengiringi khutbah. Bagaimanakah dasar pelaksanaan dua adzan sebelum shalat jum’at tersebut?

Dalil yang menerangkan adzan jum’at dalam al-Qur’an surat al-Jumu’at ayat 9;

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِنْ كُـنْـتُمْ تَعْلَمُونَ (9)

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah Swt. dan tinggalkanlah jual beli yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Al-Jumu’at ayat 9)

Dua adzan yang dilaksanakan sebelum shalat jum’at pertama kali dilaksanakan pada zaman sahabat Utsman ra., karena pada saat itu semakin bertambahnya jumlah penduduk dan jarak pemukiman penduduk dengan masjid yang jauh serta aktifitas perdagangan yang semakin pesat, sehingga adzan yang semula satu kali (dikumandangkan saat imam di atas mimbar) menyebabkan banyak dari mereka ketinggalan shalat jum’at. Dengan pertimbangan di atas, kemudian sahabat Utsman menambah adzan lagi di tempat lain yang tinggi (menara). Hal ini diterangkan dalam kitab shahih Bukhari;

عَنِ الزُّهْرِى قَالَ سَمِعْتُ السَّائِبَ بْنِ يَزِيْدَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ يَقُوْلُ اِنَّ اْلاَذَانَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ كَانَ اَوَّلُهُ حِيْنَ يَجْلِسُ اْلاِمَامُ يَوْمَ الْجُمْعَةِ عَلَى الْمِنْبَرِ فِى عَهْدِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاَبِى بَكْرٍ وَعُمَرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ فِى خِلاَفَةِ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَكَثَرُوْا اَمَرَ عُثْمَانُ يَوْمَ الْجُمْعَةِ بِاْلأَذَانِ الثَّالِثِ فَأُذَّنَ بِهِ عَلَى الزَّوْرَاءِ فَثَبَتَ اْلاَمْرُ عَلَى ذَلِكَ (صحيح البخاري الجزء 1 ص 315 رقم 916)

Dari al-Zuhri, ia berkata; saya mendengarkan dari Saib bin Yazid ra. Beliau berkata . sesungguhnya pelaksanaan adzan pada hari jum’at pada masa Rasulullah Saw, sahabat Abu Bakar dan Umar hanya satu kali, yaitu dilakukan ketika imam duduk di atas mimbar. Namun ketika masa khalifah utsman dan kaum muslim semakin banyak, maka beliau memerintahkan agar diadakan adzan yang ketiga. Adzan tersebut dikumandangkan di atas Zaura’ (nama pasar) maka tetaplah perkara tersebut sampai sekarang. (Shahih al-Bukhari, juz 1 halaman 315 hadits nomor 916)

Dengan demikian disunnahkan adzan dua kali sebelum shalat jum’at, yakni adzan pertama sebelum khatib naik mimbar dan adzan kedua pada saat khatib sudah naik mimbar. Hal ini merupakan hasil ijtihad sayidina Utsman ra. dengan pertimbangan supaya tidak ada yang tertinggal dalam shalat jum’at. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Fathu al-Mu’in.

وَيُسَنُّ اَذَانَانِ لِصُبْحٍ وَاحِدٌ قَبْلَ الْفَجْرِ وَاَخَرُ بَعْدَهُ فَاِنِ اقْتَصَرَ فَاْلاَوْلَى بَعْدَهُ وَاَذَانَانِ لِلْجُمْعَةِ اَحَدُهُمَا بَعْدَ صُعُوْدِ الْخَطِيْبِ الْمِنْبَرَ وَاْلاَخَرُ الَّذِى قَبْلَهُ (فتح المعين 15)

Disunnahkan adzan dua kali untuk shalat shubuh, yakni sebelum fajar dan setelahnya. Dan jika hanya mengumandangkan satu kali, maka yang utama dilakukan setelah fajar. Dan sunnah adzan dua kali untuk shalat jum’at. Yang pertama setelah khatib naik ke mimbar dan yang ke dua sebelumnya. (Fathu al-Mu’in, hal.15)

Kesimpulannya adalah bahwa adzan dua kali pada hari jum’at itu bukan merupakan bid’ah, sebab perbuatan itu memiliki landasan atau dalil yang kuat dari salah satu sumber hukum Islam, yakni ijma’ para sahabat.

Shalat Sunnah Qobliyah dan Ba’diyah Jum’at

Setiap sebelum dan sesudah shalat maktubah di anjurkan untuk melaksanakan shalat sunnah, yang disebut shalat qobliyah dan ba’diyah, lalu bagaimanakah dengan shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat jum’ah (shalat sunnah qobliyah dan ba’diyah jum’at) adakah dasar hukumnya?

Hadits Nabi Saw.;

عَنْ نَافِعٍ قَالَ كَانَ ابْنُ عُمَرَ يُطِيلُ الصَّلاَةَ قَبْلَ الْجُمُعَةِ وَيُصَلِّى بَعْدَهَا رَكْعَتَيْنِ فِى بَيْتِهِ وَيُحَدِّثُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ. (سنن ابى داود رقم 953)

Dari Nafi’, ia berkata: Ibnu Umar memperpanjang shalat sebelum shalat jum’at, lalu mengerjakan shalat dua rakaat setelah shalat jum’at di rumahnya kemudian ia menceritakan bahwa hal itu dilakukan oleh Rasulullah Saw. (Sunan Abi Dawud, [953])

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمُ الْجُمُعَةَ فَلْيُصَلِّ بَعْدَهَا أَرْبَعًا ». (صحيح مسلم رقم 1457)

Dari Abi Hurairah beliau berkata: Rasulullah bersabda: Apabila salah satu diantara kamu shalat jum’at, maka hendaklah melakukan shalat sunnah empat rakaat sesudahnya. (Shahih Muslim, [1457])

عَنْ ِابْنِ مَسْعُوْدٍ كاَنَ يُصَلَّى قَبْلَ الْجُمْعَةِ اَرْبَعًا وَبَعْدَهَا اَرْبَعًا(رواه الترمذى رقم 481)

Ibnu Mas’ud berkata: Bahwasannya Rasulullah Saw. melaksanakan shalat 4 rakaat sebelum shalat jum’at dan 4 rakaat sesudah shalat jum’at. (Sunan al-Tirmidzi, [481])

Berdasarkan keterangan hadits di atas maka sunnah melaksanakan shalat qobliyah dan ba’diyah jum’at. Sebagaimana perkataan Imam an-Nawawi;

فَرْعٌ, فِيْ سُنَّةِ الْجُمْعَةِ بَعْدَهَا وَقَبْلَهَا: تُسَنُّ قَبْلَهَا وَبَعْدَهَا صَلاَةٌ وَأَقَلُّهَا رَكْعَتاَنِ قَبْلَهَا وَرَكْعَتاَنِ بَعْدَهَا وَاْلاَكْمَلُ اَرْبَعٌ قَبْلَهَا وَاَرْبَعٌ بَعْدَهاَ (المجموع ج 4ص9)

(Bagian) menerangkan tentang sunnah shalat jum’at, setelah dan sebelumnya. Sebelum dan setelahnya di sunnahkan melakukan shalat sunnah. Paling sedikit 2 roka’at, sebelum dan sesudahnya. Dan lebih sempurna, 4 raka’at sebelum dan sesudahnya. (Al-Majmu’, juz IV, hal.09)

Maka menjadi jelas bahwa dianjurkan melakukan shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat jum’at sama halnya dengan shalat Dhuhur.

Khatib Jum’at Memegang Tongkat

Di kalangan NU pelaksanaan khutbah jum’at selalu terlihat tongkat di tangan khatib selama khutbah dibacakan, berbeda dengan sebagian golongan yang tidak memakai tongkat. Apakah ada dalil dari tradisi penggunaan tongkat saat khotib membacakan khotbah dan apakah ada hikmahnya?

Dasar hadits dalam kitab sunan Abi Dawud, bab al-Rajul Yahtubu ‘ala Qouts:

حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا شِهَابُ بْنُ خِرَاشٍ حَدَّثَنِى شُعَيْبُ بْنُ رُزَيْقٍ الطَّائِفِىُّ قَالَ جَلَسْتُ إِلَى رَجُلٍ لَهُ صُحْبَةٌ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُقَالُ لَهُ الْحَكَمُ بْنُ حَزْنٍ الْكُلَفِىُّ فَأَنْشَأَ يُحَدِّثُنَا قَالَ وَفَدْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- سَابِعَ سَبْعَةٍ أَوْ تَاسِعَ تِسْعَةٍ فَدَخَلْنَا عَلَيْهِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ زُرْنَاكَ فَادْعُ اللَّهَ لَنَا بِخَيْرٍ فَأَمَرَ بِنَا أَوْ أَمَرَ لَنَا بِشَىْءٍ مِنَ التَّمْرِ وَالشَّأْنُ إِذْ ذَاكَ دُونٌ فَأَقَمْنَا بِهَا أَيَّامًا شَهِدْنَا فِيهَا الْجُمُعَةَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى عَصًا أَوْ قَوْسٍ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ كَلِمَاتٍ خَفِيفَاتٍ طَيِّبَاتٍ مُبَارَكَاتٍ ثُمَّ قَالَ « أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّكُمْ لَنْ تُطِيقُوا أَوْ لَنْ تَفْعَلُوا كُلَّ مَا أُمِرْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ سَدِّدُوا وَأَبْشِرُوا ». قَالَ أَبُو عَلِىٍّ سَمِعْتُ أَبَا دَاوُدَ قَالَ ثَبَّتَنِى فِى شَىْءٍ مِنْهُ بَعْضُ أَصْحَابِنَا وَقَدْ كَانَ انْقَطَعَ مِنَ الْقِرْطَاسِ.

Dari hadits ini, Shan’ani mengatakan;

وَفِى الْحَدِيْثِ دَلِيْلٌ عَلَى اَنَّهُ يُنْدَبُ لِلْخَطِيْبِ اْلاِعْتِمَادُ عَلَى سَيْفٍ اَوْنَحْوِهِ وَقْتَ خُطْبَتِهِ (سبل السلام,ج2 ص59)

Hadits tersebut menjelaskan tentang kesunnahan khatib memegang pedang atau semisal (tongkat) pada waktu menyampaikan khutbahnya. (Subul al-Salam, Juz II, hal. 59)

Jumhur ulama’ mengatakan bahwa sunnah hukumnya bagi khotib untuk memegang tongkat pada saat membaca khutbah. Hal di jelaskan oleh Imam Syafi’i di dalam kitab al-Umm juz I. Hal.272.

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَكُمُ اللهُ وَبَلَغْنَا اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ اِذَا خَطَبَ اِعْتَمَدَ عَلَى عَصًا وَقَدْ قِيْلَ خَطَبَ مُتَعَمِّدًا عَلَى عَنَـزَةٍ وَعَلَى قَوْسٍ وَكُلُّ ذَلِكَ اِعْتِمَادٌ اَخْبَرْنَا الرَّبِيْعُ قَالَ اَخْبَرْنَا الشَّافِعِيُّ قَالَ اَخْبَرْنَا اِبْرَاهِيْمُ عَنْ لَيْثٍ عَنْ عَطَاءٍ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كِانِ اَذَا خَطَبَ يَعْتَمِدُ عَلَى عَنَـزَتِهِ اِعْتِمَادًا (الأم ج1 ص 272)

(Imam Syafi’i ra berkata) mudah-mudahan Allah Swt. memberikan rahmat kepada beliau, dan telah sampai kepada kami (berita) bahwa ketika Rasulullah Saw. berkhutbah, beliau berpegang pada tongkat. Ada yang mengatakan, beliau berkhutbah dengan memegang tongkat pendek dan anak panah. Semua benda-benda itu dijadikan tempat bertumpu (pegangan). Al-Rabi’ mengabarkan dari imam Syafi’i dari Ibrahim, dari Laits dari ‘Atha’, bahwa Rasulullah Saw. jika berkhutbah beliau memegang tongkat pendeknya untuk dijadikan tumpuan. (Al-Umm, juz I, hal.272)

Dari penjelasan tersebut sudah jelas bahwa khutbah sambil memegang tongkat mempunyai dasar yang kuat, namun masihkah hal ini diklaim sebagai perbuatan bid’ah?

Hikmah Memegang Tongkat Waktu Menyampaikan Khutbah

وَالْحِكْمَةُ اِنَّ فِىْ ذٰلِكَ رَابِطًا لِلْقَلْبِ وَلِبُعْدِ يَدَيْهِ عَنِ الْعَبْثِ (سبل السلام ج 2 ص59)

Hikmah dianjurkannya memegang tongkat itu untuk mengikat hati (agar lebih konsentrasi) dan agar tidak mempermainkan tangannya. (Subul al-Salam, juz II, hal.59)

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa dalam pelaksanaan penyampaian khutbah jum’at, bagi seorang khatib disunnahkan membawa tongkat seperti yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. Dan dimaksudkan agar khatib lebih khusyu’ dan konsentrasi pada khutbah yang disampaikannya.

Mengulang Bacaan Alhamdulillah dalam Khutbah

Sering kita mendengar saat khatib membaca alhamdulillah diulang dua kali dalam khutbahnya, hal ini biasanya terdapat di kalangan masjid-masjid NU. Bagaimanakah pendapat tentang pengulangan bacaan tersebut?

Salah satu rukun khutbah adalah membaca hamdalah. Adapun mengulang bacaan alhamdulillah itu dianggap sah karena sama dengan mengulangi di antara rukun khutbah yang hukumnya tidak dilarang. Dari keterangan asy-Syarqawi bab Jum’at.

وَكَذَا لاَيَضُرُّ تَكْرِيْرُ بَعْضِ اْلاَرْكاَنِ كَماَ يَقَعُ اْلاٰنَ اَيْضًا (الشرقاوى ج 1 ص267 )

Demikian pula boleh mengulang-ulang sebagian rukun-rukunnya sebagaimana yang terjadi sekarang ini. (al-Syarqawi bab jum’at juz 1 halaman 267)

Menterjemahkan Khutbah dengan Bahasa Indonesia

Khutbah merupakan rukun shalat jum’at yang dilakukan dengan tujuan untuk mengajak kepada para jama’ah untuk selalu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Swt. sehingga perlu adanya pemahaman pada para jama’ah tentang isi yang akan disampaikan. Bagaimanakah menerjemahkan khutbah dengan bahasa Indonesia selain rukun khutbah tersebut?

Dalam hal ini terjadi perbedaan pandangan

a. Sebagian ulama’ memandang khutbah jum’at yang disampaikan dengan bahasa Indonesia (selain bahasa Arab) dianggap tidak mencukupi keabsahannya karena dinilai sebagai laghwun bahkan dianggap memutus rukun-rukun khutbah.

b. Ulama’ Syafi’iyah sepakat bahwa diperbolehkan menerjemahkan selain rukun khutbah, asal tetap pada prinsip mengajak kepada kebaikan dan tidak keluar dari tujuan khutbah sebagaimana diterangkan dalam al-Bujairimi, juz I, hal.389.

لَوْ كاَنَ مَا بَيْنَ أَرْكاَنِهِمَا بِغَيْرِ الْعَرَبِيَّةِ لَمْ يَضُرْ قاَلَ م ر مَحَلُهُ ماَ إِذَا لَمْ يُطِلْ الفَصْلُ بِغَيْرِ الْعَرَبِيَةِ وَإِلاَّ ضَرَّ لِإِخْلاَلِهِ بِالْمُوَالاَةِ كَالسُّكُوْتِ بَيْنَ اْلأَرْكاَنِ إِذَا طََالَ بِجَامِعٍ أَنَّ غَيْرَ الْعَرَبِيِّ لَغْوٌ لاَ يُحْسَبُ لِأَنَّ غَيْرَ الْعَرَبِيِّ لاَ يُجْزِىءُ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى الْعَرَبِيِّ فَهُوَ لَغْوٌ سم وَالْقِياَسُ عَدَمُ الضَّرَرِ مُطْلَقًا وَيُفْرَقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ السُّكُوْتِ بِأَنَّ فِي السُّكُوْتِ إِعْرَاضًا عَنِ الْخُطْبَةِ بِالْكُلِّيَةِ بِخِلاَفِ غَيْرِ الْعَرَبِيِّ فَإِنَّ فِيْهِ وَعْظًا فِي الْجُمْلَةِ فَلاَ يَخْرُجُ بِذَلِكَ عَنْ كَوْنِهِ مِنَ الْخُطْبَةِ ع ش ( حاشية البجرمي ج 1 ص 389)

Yakni seandainya antara rukun-rukun khutbah memggunakan selain bahasa Arab boleh saja, (Imam Ramli berpendapat) selama pemisahan dengan selain bahasa Arab itu tidak panjang. Jika pemisahan tersebut panjang maka tidak boleh karena dapat merusak ketersambungan khutbah sama seperti diam dalam waktu yang lama di antara rukun-rukunnya. Sesungguhnya khutbah selain bahasa Arab itu dianggap gurauan yang tidak punya nilai, karena khutbah dengan selain bahasa Arab tidak mencukupi selama ia (khotib) mampu berbahasa Arab. Menurut hukum qiyas penggunaan selain bahasa arab itu diperkenankan secara mutlak, dan perbedaan khutbah selain bahasa arab dengan diam adalah sesungguhnya dalam diam itu menunjukkan berpaling dari khutbah secara keseluruhan, sedangkan khutbah selain bahasa arab mengandung nasehat maka tidak keluar dari pengertiannya sebagai khutbah. (Al-Bujairimi, juz I, hal.389)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar