BUKU GALAK GAMPIL INI MENERANGKAN TENTANG MASALAH-MASALAH FIQHIYAH DI TINJAU DARI BERBAGAI MACAM HUKUM

Rabu, 02 Juni 2010

BUDAYA DAN ETIKA

BAB XVIII

BUDAYA DAN ETIKA

Panggilan Sayyidina

Banyak cara dalam upaya memuliakan dan memberi penghormatan pada orang lain misalnya panggilan gus atau mas bagi putra kyai, raden ageng atau pangeran bagi keluarga kerajaan. Begitu pula dengan panggilan sayyid artinya tuan besar. Di kalangan masyarakat NU sering lafadz sayyidina diucapkan tatkala menyebut nama Nabi dan para sahabatnya.

Penyebutan sayyidina pada Nabi Muhammad bertujuan memberikan penghormatan, dan lebih bersopan santun kepada Nabi Muhammad Saw. Dan hukumnya boleh, bahkan dianjurkan, sebagaimana keterangan di bawah ini:

حَدَّثَنِى الْحَكَمُ بْنُ مُوسَى أَبُو صَالِحٍ حَدَّثَنَا هِقْلٌ - يَعْنِى ابْنَ زِيَادٍ - عَنِ الأَوْزَاعِىِّ حَدَّثَنِى أَبُو عَمَّارٍ حَدَّثَنِى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ فَرُّوخَ حَدَّثَنِى أَبُو هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ ». (صحيح مسلم, باب تفضيل نبينا على بعض )

Telah bercerita kepadaku al-Hakam bin Musa Abu Shalih, telah bercerita kepadaku Hiql (yaitu Ibnu Ziyad) dari al-Auza’i, telah bercerita kepadaku Abu Ammar, telah bercerita kepadaku Abdullah bin Farrukh, telah bercerita kepadaku Abu Hurairah, dia berkata “Rasulullah Saw. Bersabda: “Aku adalah sayyid bagi manusia di hari kiamat dan orang yang pertama kali bangkit dari alam kubur, pertama kali sebagai pemberi syafa’at dan yang di syafa’ati”. (Shahih Muslim: bab Tafdhil Nabiyina ‘ala Jamii’)

وَقَوْلُهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا َاْلأَوْلَى ذِكْرُ السِّياَدَةِ، ِلاَنَّ اْلاَفْضَلَ سُلُوْكُ اْلاَدَبِ. (الباجورى على ابن قاسم ج 1 ص 156 )

Setiap kali menyebut nama Muhammad Rasulullah, yang lebih utama adalah menambah dengan sayyidina, karena lebih utama dengan jalan/cara sopan santun. (Al-Bajuri ala Ibni Qasim Juz 1, hal. 156)

Dan dalam kitab Tafsir al-Baghawi, Imam Mujahid dan Imam Qotadah berkata: Janganlah kamu sekalian memanggil nama Nabi dengan namanya secara langsung (wahai Muhammad), tetapi panggillah dengan penuh tawadhuk dan lemah lembut. Misalnya memanggil dengan nama keagungan dan kebesarannya: Wahai Rasulullah, dan lain-lain.

وَقاَلَ مُجَاهِدٌ وَقَتاَدَةُ: لاَ تَدْعُوْهُ بِاسْمِهِ كَمَا يَدْعُوْ بَعْضَكُمْ بَعْضًا: ياَ مُحَمَّدُ، ياَ عَبْدَ اللهِ، وَلَكِنْ فَخَّمُوْهُ وَشَرِّفُوْهُ، فَقُوْلُوْا: ياَ نَبِيَّ اللهِ، ياَ رَسُوْلَ اللهِ، فِيْ لَيِّنٍ وَتَوَاضُعٍ ( تفسير البغوى ج 3 ص 433 )

Berdiri untuk Menghormati Seseorang

Sudah tidak asing lagi di kalangan pesantren dan masyarakat apabila ada seorang kyai atau ulama’ lewat mereka berdiri untuk menghormati kyai tersebut. Penghormatan ini dilakukan untuk menghormati ilmu kyai tersebut. Bagaimanakah hukum berdiri untuk penghormatan tersebut?

Mayoritas ulama’ membolehkan berdiri untuk menghormati seseorang yang datang. Mereka berdalil dengan firman Allah Swt.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوْا إِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوْتُوْا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ ( المجادلة اية 11 )

Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-Mujadalah:11)

ذَهَبَ جُمْهُوْرُ اْلفُقَهَاءِ اِلَى جَوَازِ اْلقِيَامِ لِلْقاَدِمِ اِذَا كاَنَ مُسْلِمًا مِنْ أَهْلِ الْفَضْلِ وَالصَّلاَحِ عَلَى وَجْهِ التَّكْرِيْمِ لِأَنَّ احْتِرَامَ الْمُسْلِمِ وَاجِبٌ وَتَكْرِيْمَهُ لِدِيْنِهِ وَصَلاَحَهُ مِمَّا يَدْعُوْ اِلَيْهِ اْلاِسْلاَمُ لِأَنَّهُ سَبِيْلُ الْمَحَبَّةِ وَالْمَوَدَّةِ وَقَدْ قاَلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ (لاَ تَحْقَرِنْ مِنَ الْمَعْرُوْفِ شَيْأً وَلَوْ أَنْ تَكَلَّمَ أَخَاكَ وَأَنْتَ مُنَبِّسَطٌ اِلَيْهِ بِوَجْهِكَ) . (روائع البيان في تفسير ايات الأحكام, ج 2 ص 454)

Mayoritas ulama’ mengatakan bahwa boleh berdiri untuk (menghormati) orang Islam yang mulia dan baik, dengan tujuan untuk menghormatinya. Menghormati seseorang karena agama dan kebaikannya, termasuk perbuatan yang sangat dianjurkan oleh agama dan karena perbuatan itu merupakan jalan untuk menambah rasa cinta dan kasih sayang. Nabi bersabda janganlah kamu meremehkan perbuatan baik (yang dilakukan seseorang), sekalipun (dalam bentuk) kamu berbicara kepada saudaramu dengan wajah yang berseri-seri. (Rawaai’ al-Bayan Fii Tafsiri Ayat al-Ahkam, juz II, hal.404)

Jabat Tangan dengan Dicucup atau Dicium

Sering kali kita melihat seseorang saat bertemu atau berjumpa dengan temannya yang lain mereka saling berjabat tangan, terutama di lingkungan pondok pesantren. Etika ini juga dilakukan oleh santri saat berhadapan dengan orang tua, kyai, atau guru mereka, namun tidak hanya berjabat tangan, melainkan dengan mencium atau mencucup tangan mereka yang dipandang mulia, bahkan ada sebagian dari santri yang mencium kaki kyainya (sebagai wujud penghormatan kepada gurunya).

Namun terkadang hal ini dipandang sebelah mata oleh sebagian orang sebagai upaya pengkultusan atau budaya patron yang kurang baik. Bagaimanakah sebenarnya pandangan agama terhadap perilaku jabat tangan dengan cara mencium, mencucup tangan atau bahkan mencium kaki?

a. Makruh, apabila dilakukan terhadap orang kaya karena kekayaannya.

وَافَقَ النَّوَوِيُّ بِكَرَاهَةِ اْلاِنْحِنَاءِ وَتَقْبِيْلِ نَحْوِ يَدٍ أَوْ رِجْلٍ لاَ سِيَمَا لِنَحْوِ غَنِيٍّ لِحَدِيْثٍ : "مَنْ تَوَاضَعَ لِغَنِيٍّ ذَهَبَ ثُلُثَا دِيْنِهِ" . وَيُنْدَبُ ذَلِكَ لِنَحْوِ صَلاَحٍ أَوْ عِلْمٍ أَوْ شَرَفٍ (بغية المسترشدين ص 296 )

Imam Nawawi sepakat terhadap hukum makruh merunduk dan mencium tangan atau kaki apalagi kepada orang kaya, berdasarkan hadits “Barang siapa bertawadhu’ terhadap orang kaya maka hilanglah 2/3 agamanya”. Dan disunnahkan mencium atau merunduk kepada orang-orang saleh, orang-orang yang berilmu dan orang-orang mulia. (Bughya al-Mustarsyidin hal 296)

b. Sunnah, apabila itu dilakukan kepada orang-orang yang mulia dan orang yang sudah tua.

وَافَقَ النَّوَوِيُّ بِكَرَاهَةِ اْلاِنْحِنَاءِ وَتَقْبِيْلِ نَحْوِ يَدٍ أَوْ رِجْلٍ لاَ سِيَمَا لِنَحْوِ غَنِيٍّ لِحَدِيْثٍ : "مَنْ تَوَاضَعَ لِغَنِيٍّ ذَهَبَ ثُلُثَا دِيْنِهِ" . وَيُنْدَبُ ذَلِكَ لِنَحْوِ صَلاَحٍ أَوْ عِلْمٍ أَوْ شَرَفٍ (بغية المسترشدين ص 296 )

Imam Nawawi sepakat terhadap hukum makruh merunduk dan mencium tangan atau kaki apalagi kepada orang kaya, berdasarkan hadits “Barang siapa bertawadhu’ terhadap orang kaya maka hilanglah 2/3 agamanya”. Dan disunnahkan mencium atau merunduk kepada orang-orang saleh, orang-orang yang berilmu dan orang-orang mulia. (Bughya al-Mustarsyidin hal 296)

Menurut Imam al-Hafidz al-Iraqi ra.: Mencium badan, tangan dan kaki orang-orang saleh atau orang-orang mulia dengan niatan untuk mendapatkan berkah (tabarukan) adalah perbuatan baik dan terpuji.

وَقَالَ اَلْحَافِظْ اَلْعِرَاقِيْ : وَتَقْبِيْلُ اْلأَمَاكِنِ الشَّرِيْفَةِ عَلَى قَصْدِ التَّبَرُّكِ وَأَيْدِيْ الصَّالِحِيْنَ وَأَرْجُلِهِمْ حَسَنٌ مَحْمُوْدٌ بِاعْتِبَارِ الْقَصْدِ وَالنِّيَةِ اهـ. (بغية المسترشدين ص 296 )

Imam Hafidz al-Iraqi Ra. berkata: Mencium badan, tangan atau kaki orang-orang yang dianggap mulia dengan maksud mendapatkan berkah, adalah perbuatan baik dan terpuji berdasarkan tujuan dan niatnya. (Bughya al-Mustarsyidin hal 296)

Budaya mencium tangan ulama’, kyai, ahli zuhud dan orang yang sudah tua, sudah ada sejak zaman Rasulullah Saw. seperti contoh: sahabat Abu Ubaidah mencium tangan sahabat umar, sahabat Ali mencium tangan sahabat Abbas dan sahabat ka’ab mencium kedua tangan dan lutut Nabi. Sebagaimana keterangan berikut ini:

وَرَوَى اِبْنُ حِباَّنِ اِنَّ كَعْباً قَبَّلَ يَدَيْهِ وَرُكْبَتَيْهِ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ لَمَّا نَزَلَتْ تَوْبَتُهُ. (بغية المسترشدين ج 1 ص 638)

Sesungguhnya Ka’ab mencium kedua tangan dan lutut Nabi. (HR. Ibnu Hibban). (Bughya al-Mustarsyidin hal 638)

Mahal al-Qiyam, (Berdiri Ketika Membaca Barzanji)

Ketika membaca shalawat barzanji, ketika sampai bacaan “Ya Nabi Salam ‘Alaika” biasanya orang-orang melantunkannya sambil berdiri yang dikenal dengan istilah Mahal al-Qiyam. Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa berdiri ketika membaca shalawat adalah bid’ah syayyiah sebab tidak ada dalil yang membenarkannya, benarkah begitu?. Dan sebetulnya bagaimanakah hukum berdiri ketika membaca shalawat?

Membaca shalawat kepada Nabi Muhammad Saw. merupakan ibadah yang sangat terpuji. Tujuan membaca shalawat itu adalah untuk mengagungkan Nabi Muhammad Saw. Salah satu cara untuk mengagungkan seseorang adalah dengan cara berdiri. Oleh karena itu boleh hukumnya berdiri ketika membaca shalawat Nabi Saw. Sebagaimana diterangkan dalam kitab al-Bayan Wa al-Ta’rif Fii Dzikri al-Maulid al-Nabawi, hal.29-30:

وَيَقُوْلُ اَلْبَرْزَنْجِىُّ فِىْ مَوْلِدِهِ الْمَنْثُوْرِ هٰذَا وَقَدْ اِسْتَحْسَنَ الْقِيَامُ عِنْدَ ذِكْرِ مَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ اَئِمَّةِ ذُوْ رِوَايَةٍ, وَرِوَيَةٌ اِلَخْ فَطُوْبَى لِمَنْ كاَنَ تَعْظِيْمَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غاَيَةَ مَرَامِهِ وَمَرْماَهُ وَنَعْنِيْ بِالْاِسْتِحْسَانِ باِلشَّيْئِ هُناَ كَوْنُهُ جاَئِزًا مِنْ حَيْثُ ذَاتِهِ وَاُصُلِهِ وَمَحْمُوْدًا وَمَطْلُوْباً مِنْ حَيْثُ بِوَاعِثِهِ وَعَوَاقِبِهِ اِلَخْ لاَ بِالْمَعْنىَ الْمُصْطَلَحِ عَلَيْهِ فِيْ اُصُوْلِ الْفِقْهِ (البيان والتعريف فى ذكر المولد النبوى ص 29-30)

Imam al-Barzanji dalam kitab maulidnya, yang berbentuk prosa mengatakan sebagian ulama’ ahlu hadits yang mulia itu mengaggap baik (istihsan) berdiri ketika disebutkan sejarah kelahiran Nabi. Betapa beruntungnya orang yang mengagungkan Nabi Saw. Yang dimaksud dengan istihsan disini ialah jaiz (boleh) dilihat dari aspek perbuatan itu sendiri serta asal usulnya, dan dianjurkan dari sisi tujuan dan dampaknya. Bukan dari istihsan dalam pengertian ilmu usul fiqh. (Al-Bayan Wa al-Ta’rif Fii Dzikri al-Maulid al-Nabawi,, hal. 29-30)

Berdiri untuk menghormati sesuatu sebetulnya sudah menjadi tradisi kita. Bahkan tidak jarang berdiri untuk menghormati benda mati. Misalnya setiap tanggal 17 Agustus, maupun pada waktu yang lain, ketika bendera merah putih dinaikkan dan lagu Indonesia Raya dikumandangkan, maka seluruh peserta diharuskan berdiri. Tujuannya tidak lain adalah untuk menghormati Sang Saka Merah Putih dan mengenang jasa para pejuang bangsa.

Jika dalam upacara bendera saja harus berdiri, maka berdiri untuk menghormati Nabi tentu lebih layak dilakukan, sebagai ekspresi dari bentuk penghormatan. Bukankah Nabi Saw. Adalah manusia yang teragung yang lebih layak di hormati dari pada yang lain. Oleh sebab itu Imam Nawawi berpendapat:

اَلْقِياَمُ لِلْقاَدِمِ مِنْ اَهْلِ الْفَضْلِ مُسْتَحَبٌّ وَقَدْ جَاءَ فِيْهِ اَحاَدِيْثٌ وَلَمْ يَصَحْ فِى النَّهِىْ عَنْهُ شَيْئٌ صَرِيْحٌ (صحيح مسلم بشرح النووى رقم ج 12 ص 80 )

Berdiri untuk (menyambut) kedatangan orang yang mempunyai keutamaan itu dianjurkan. Ada banyak hadits yang menerangkan hal tersebut. Tidak ada dalil yang secara nyata menyatakan larangan berdiri itu. (Shahih Muslim Bi Syarh al-Nawawi, juz XII, hal.80)

Dari sini dapat disimpulkan bahwa sebagai salah satu bentuk penghormatan, berdiri menyambut kedatangan orang terhormat itu dianjurkan. Maka berdiri untuk menghormat Nabi ketika membaca shalawat itu lebih dianjurkan.

Hukum Membaca Manaqib Syeh Abdul Qodir atau Manaqib yang Lainnya

Di kalangan masyarakat Islam Indonesia seringkali kita temukan adanya kegiatan pembacaan manaqib Syeh Abdul Qadir al-Jilany. Bagaimanakah hukum tradisi tersebut?

Manaqib adalah sejarah atau biografi seorang ulama’ yang mempunyai nilai-nilai yang patut untuk dijadikan suri tauladan seperti halnya Syeh Abdul Qadir al-Jilany. Adapun pembacaan manaqib beliau tidak lain adalah untuk mencari dan mendapatkan berkah, terkabulnya do’a dan turunnya rahmat di depan para wali baik yang masih hidup ataupun yang sudah mati. Sebagaimana diterangkan dalam kitab Jala’ al-Dzulam ‘Ala ‘Aqidah al-‘Awam.

اِعْلَمْ يَنْبَغِىْ لِكُلِّ مُسْلِمٍ طَالِبُ اْلفَضْلِ وَالْخَيْرَاتِ اَنْ يَلْتَمِسَ الْبَرَكاَتِ وَالنَّفَحاَتِ وَاسْتِجاَبَةِ الدُّعاَءِ وَنُزُوْلِ الرَّحْمَاتِ فِى حَضْرَاتِ الْلاَوْلِياَءِ فِى مَجَالِسِهِمْ وَجَمْعِهِمْ اَحْياَءً وَاَمْوَاتاً وَعِنْدَ قُبُوْرِهِمْ وَحاَلَ ذِكْرِهِمْ وَكَثْرَةِ الْجُمُوْعِ زِياَرَاتِهِمْ وَعِنْدَ مُذَاكِرَاتِ فَضْلِهِمْ وَنَشْرِ مَنَاقِبِهِمْ (جلاء الظلام على عقيدة العوام)

Ketahuilah! Seyogyanya bagi setiap muslim yang mencari keutamaan dan kebaikan agar ia mencari berkah dan anugerah, terkabulnya do’a dan turunnya rahmat di depan para wali, di majelis-majelis perkumpulan mereka, baik masih hidup maupun sudah mati, di kuburan mereka, ketika mengingat mereka, dan ketika banyak orang berkumpul dalam berziarah kepada mereka, serta ketika mengingat keutamaan mereka, dan pembacaan riwayat hidup mereka. (Jala’u al-Dzulam ‘Ala ‘Aqidah al-‘Awam)

Dari keterangan tersebut dapat diketahui bahwa pembacaan manaqib orang yang shalih adalah diperbolehkan bahkan dianjurkan.

Hukum Berjabat Tangan dengan Ghoiru Mahrom

a. Tidak Boleh

Menurut jumhur ulama’ hukum berjabat tangan antara laki-laki dengan wanita lain (ghoiru mahrom) adalah tidak diperbolehkan. Hal ini diterangkan dalam kitab Tanwir al-Qulub hal. 199 dan Hasiyah al-Shawi ‘ala Syarhi al-Shaghir.

وَتَحْرُمُ مُصَافَحَةُ الرَّجُلِ لِلْمَرْأَةِ اْلأَجْنَبِيَّةِ مِنْ غَيْرِ حَائِلٍ وَكَذَا اْلاَمْرَادُ الْجَمِيْلُ ( تنوير القلوب ص 199)

قَوْلُهُ: [ وَلاَ تَجُوزُ مُصَافَحَةُ الرَّجُلِ الْمَرْأَةَ ]: أَيْ الْأَجْنَبِيَّةَ وَإِنَّمَا الْمُسْتَحْسَنُ الْمُصَافَحَةُ بَيْنَ الْمَرْأَتَيْنِ لَا بَيْنَ رَجُلٍ وَامْرَأَةٍ أَجْنَبِيَّةٍ ، ( حاشية الصاوى على الشرح الصغير )

b. Makruh

Menurut Imam Ahmad bin Hambal, hukum berjabat tangan antara orang laki-laki dengan perempuan lain adalah makruh. Hal ini diterangkan dalam kitab Masail al-Imam Ahmad bin Hambal

وَكَرَهَ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ مُصَافَحَةَ النِّسَاءِ، وَشَدَّدَ أَيْضاً حَتَّى الْمُحْرِمِ. ( مسائل الامام احمد بن حنبل )

c. Boleh

Menurut Syekh Muhammad Amin al-Kurdi, hukum berjabat tangan antara orang laki-laki dan perempuan boleh tetapi dengan syarat harus menggunakan satir seperti kaos tangan atau yang lainnya.

وَتَحْرُمُ مُصَافَحَةُ الرَّجُلِ لِلْمَرْأَةِ اْلأَجْنَبِيَّةِ مِنْ غَيْرِ حَائِلٍ وَكَذَا اْلاَمْرَادُ الْجَمِيْلُ ( تنوير القلوب ص 199)

Dalam kitab Syarhu an-Nail Wasyifaul ‘alil juz 9 hal 436 dijelaskan bahwa Rasulullah bersabda “Barang siapa berjabat tangan dengan orang yang alim maka fadhilahnya adalah seperti berjabat tangan denganku (Rasulullah)”. Dari sinilah diperbolehkan berjabat tangan bagi orang perempuan, bocah atau budak wanita kepada para alim yang betul-betul menyatukan hatinya dengan Allah Swt.

فَصْلٌ " لاَ تَفْتَرِقُ كَفَّا مُتَصَافِحَيْنِ فِي اللَّهِ حَتَّى تَتَنَاثَرَ ذُنُوبُهُمَا كَالْوَرَقِ " رُوِيَ ذَلِكَ ، وَأَنَّهُ " مَنْ صَافَحَ عَالِمًا فَكَأَنَّمَا صَافَحَنِي " ، وَجَازَتْ مُصَافَحَةُ مُوَحِّدٍ وَإِنْ أُنْثَى أَوْ صَغِيرًا ، أَوْ رَقِيقًا إنْ لَمْ يَكُنْ كَبَاغٍ . ( شرح النيل وشفاء العليل )

Macam-Macam Batasan Aurat

A. Definisi Aurat

Aurat adalah bagian tubuh manusia yang tabu dan dosa untuk diperlihatkan kepada orang lain kecuali terhadap makhrom atau suami dan istri sendiri. Secara umum aurat itu dibagi menjadi dua yaitu;

1. Aurat Ghalidhah (yaitu Qubul, lubang depan yang biasanya disebut dzakar atau vagina dan dubur, yaitu lubang belakang atau anus).

2. Aurat Khafifah yaitu seluruh anggota tubuh selain dari qubul dan dubur. Keterangan dalam kitab al-Jauhar al-Nirah, Juz 1 hal. 189.

الْعَوْرَةُ عَلَى نَوْعَيْنِ: غَلِيظَةٌ كَالْقُبُلِ وَالدُّبُرِ ، وَخَفِيفَةٌ وَهِيَ مَا عَدَاهُمَا

B. Kriteria Pembagian Batasan Aurat

Pendapat berbagai Ulama’ dalam membagi kriteria aurat secara terperinci diuraikan di bawah ini:

1. Aurat Laki-Laki

a. Menurut pendapat madzhab Syafi’iyah, aurat orang laki-laki di dalam shalat dan di luar shalat adalah anggota tubuh mulai dari pusar sampai dengan lutut. Diterangkan di dalam kitab Hasyiyah al-Jamal juz 4 hal. 12-14 dan kitab I’anah al-Thalibin, Juz 1 Fasal Fii Syuruti Al-Shalat.

وَالْعَوْرَةُ مِنَ الرَّجُلِ مَا تَحْتَ السُّرَّةِ إلَى الرُّكْبَةِ ( قَوْلُهُ وَالْعَوْرَةُ مَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ ) هُوَ تَتِمَّةُ الْحَدِيثِ وَالْمُرَادُ الْعَوْرَةُ فِي الصَّلَاةِ وَغَيْرِهَا بِقَرِينَةِ الْإِظْهَارِ فِي مَحَلِّ الْإِضْمَارِ ا هـ

b. Menurut Imam Zarkasyi, aurat pria di luar shalat dan ketika berada di tempat yang sepi adalah hanya dubur dan dzakar (alat kelaminnya) saja. Hal ini diterangkan dalam kitab: Syarhu al-Bahjah al-Wardiyah, juz 3 hal. 467 dan kitab Tuhfah al-Muhtaj Fii Syarhi al-Minhaj, Juz 6 hal. 243.

قَالَ الزَّرْكَشِيُّ وَالْعَوْرَةُ الَّتِي يَجِبُ سَتْرُهَا فِي الْخَلْوَةِ السَّوْأَتَانِ فَقَطْ مِنَ الرَّجُلِ

Menurut Imam Malik dan Imam Ahmad, aurat orang laki-laki di luar shalat adalah hanya kubul dan dubur saja. Diterangkan dalam kitab Bughya al-Mustarsyidin bab Fii Syuruti al-Shalat hal 34.

فائدة : قاَلَ فِي الْقَلاَئِدِ : لَناَ وَجْهٌ أَنَّ عَوْرَةَ الرَّجُلِ فِيْ غَيْرِ الصَّلاَةِ اَلْقُبُلُ وَالدُّبُرُ فَقَطْ وَهُوَ رِوَايَةٌ عَنْ مَالِكٍ وَأَحْمَدَ اهـ ( بغية المسترشدين باب شروط الصلاة ص 34 )

c. Dalam kitab Hasyiah al-Jamal, Juz 1 hal. 411. diterangkan bahwa aurat orang laki-laki di dalam shalat hanyalah qubul (dzakar) dan dubur (anus) saja. Tetapi pendapat ini hanya khusus untuk orang laki-laki saja tidak berlaku bagi budak perempuan (amat).

قَوْلُهُ أَيْضًا بِجَامِعِ أَنَّ رَأْسَ كُلٍّ مِنْهُمَا لَيْسَ بِعَوْرَةٍ أَيْ: فِي الصَّلَاةِ نَعَمْ يَفْتَرِقَانِ فِي أَنَّ لَنَا وَجْهًا بِأَنَّ عَوْرَةَ الرَّجُلِ الْقُبُلُ وَالدُّبُرُ خَاصَّةً وَهُوَ لَا يَجْرِي فِي الْأَمَةِ

d. Dikatakan, Imam Malik juga berpendapat bahwa aurat yang wajib ditutupi bagi orang laki-laki dan amat (budak perempuan) adalah dua alat kelaminnya saja. (Mughni al-Mukhtaj, Juz 1 hal. 256.)

وَخَرَجَ بِذَلِكَ السُّرَّةُ وَالرُّكْبَةُ فَلَيْسَا بِعَوْرَةٍ عَلَى الْأَصَحِّ وَقِيْلَ الَرُّكْبَةُ مِنْهَا دُوْنَ السُّرَّةِ وَقِيْلَ عَكْسُهُ وَقِيْلَ اَلسَّوْاَ تَانِ فَقَطْ وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَجَمَاعَةٌ.

Dan menurut Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi perintah menutupi aurat itu adalah bertujuan untuk memuliakan dan menjaga kemaluan, tidak untuk merendahkan dan menghinakannya, karena kemaluan adalah termasuk barang yang tabu dan jijik apabila terbuka atau telanjang dan tidak buruk secara dhahir dan hakikinya. Barang yang harus ditutupi itu adalah qubul (dzakar atau vagina) dan dubur (anus) sebagaimana dijelaskan di dalam kitab: Hasyiah al-Shawi ‘ala Syarhi al-Shaghir, Juz 1 bab Satru al-Aurat.

قَوْلُهُ: (وَسَتْرِ الْعَوْرَةِ): السَّتْرُ بِفَتْحِ السِّينِ لِأَنَّهُ مَصْدَرٌ ، وَأَمَّا بِالْكَسْرِ فَهُوَ مَا يَسْتَتِرُ بِهِ . وَالْعَوْرَةُ: مِنْ الْعَوَرِ ، وَهُوَ الْقُبْحُ لِقُبْحِ كَشْفِهَا لَا نَفْسِهَا ، حَتَّى قَالَ مُحْيِي الدِّينِ بْنُ الْعَرَبِيِّ: الْأَمْرُ بِسَتْرِ الْعَوْرَةِ لِتَشْرِيفِهَا وَتَكْرِيمِهَا لَا لِخِسَّتِهَا فَإِنَّهُمَا – يَعْنِي الْقُبُلَيْنِ - مَنْشَأُ النَّوْعِ الْإِنْسَانِيِّ الْمُكَرَّمِ الْمُفَضَّلِ. ا هـ .

2. Aurat Wanita

a. Pendapat dari pengikut madzhab Syafi’iyah, bahwa aurat wanita di luar shalat ketika bersama orang laki-laki lain adalah seluruh tubuhnya. Sebagaimana diterangkan dalam kitab: Matan Safinah an-Najah, hal. 12.

وَعَوْرَةُ اْلحُرَّةِ وَاْلاَمَّةِ عِنْدَ اْلاَجَا نِبِ جَمِيْعُ الْبَدَنِ.

b. Aurat orang perempuan ketika shalat adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan dua telapak tangan. Hal ini diterangkan dalam kitab Hasyiah Bujairami, Juz 4 hal. 74 dan Hasyiah al-Jamal, Juz 4 halaman. 12-14.

َ) عَوْرَةُ (حُرَّةٍ غَيْرُ وَجْهٍ وَكَفَّيْنِ) ظَهْرًا وَبَطْنًا إلَى الْكُوعَيْنِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى:{وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا} وَهُوَ مُفَسَّرٌ بِالْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ وَإِنَّمَا لَمْ يَكُونَا عَوْرَةً ؛ لِأَنَّ الْحَاجَةَ تَدْعُو إلَى إبْرَازِهِمَا.

c. Menurut Imam Muzani, telapak kaki orang perempuan dalam shalat maupun di luar shalat adalah bukan termasuk aurat. Diterangkan dalam kitab Mughni al-Mukhtaj, Juz 1 hal. 257.

وَفِيْ قَوْلِهِ اَوْ وَجْهٌ أَنَّ بَاطِنَ قَدَمَيْهَا لَيْسَ بِعَوْرَة وَقَالَ الْمُزَانِيْ لَيْسَ القَدَمَانِ عَوْرَةً

d. Dikatakan aurat orang perempuan ketika dalam keadaan sendirian atau pada tempat yang sepi adalah cukup menutupi sesuatu di antara pusar sampai dengan lutut. Diterangkan dalam kitab Hasyiyah al-Jamal ala al-Minhaj juz 1 hal 411.

وَاَمَّا فِى الْخَلْوَةِ فَكاَلْمَحَارِمِ وَقِيْلَ كَالرَّجُلِ ( حاشية الجمل على شرح المنهاج ج 1 ص 411 )

Imam al-Zarkasyi berpendapat dalam kitab Syarhu al-Bahjah al-Wardiyah, Juz 3 hal. 467. bahwa orang perempuan ketika dalam keadaan sendirian atau pada tempat yang sepi adalah cukup menutupi sesuatu di antara pusar sampai dengan lutut.

قَالَ الزَّرْكَشِيُّ وَالْعَوْرَةُ الَّتِي يَجِبُ سَتْرُهَا فِي الْخَلْوَةِ السَّوْأَتَانِ فَقَطْ مِنْ الرَّجُلِ, وَمَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ مِنْ الْمَرْأَةِ

e. Dalam kitab Matan Sulam al-Safinah, hal 12-13: aurat orang perempuan adalah dari pusar sampai dengan lututnya saja ketika bersama muhrimnya atau ketika bersama dengan sesama wanitanya.

وَعَوْرَةُ اْلحُرَّةِ وَاْلاَمَّةِ عِنْدَ اْلاَجَانِبِ جَمِيْعُ الْبَدَنِ وَعِنْدَ مَحَارِمِهَا واَلنـِّسَاءِ مَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ.

3. Aurat Budak atau Hamba Sahaya

a. Menurut penganut madzhab Syafi’i aurat budak ketika shalat adalah seperti auratnya wanita khurri (wanita merdeka) yaitu seluruh tubuhnya kecuali kepala, wajah dan kedua telapak tangannya, diterangkan dalam kitab: Hasyiah Qulyubi wa ‘Amirah, Juz 3 hal. 442. dan bisa dilihat dalam kitab Nihayah al-Zain, hal. 46.

وَالثَّانِي عَوْرَتُهَا (أي اْلأَمَةُ) كَالْحُرَّةِ إلَّا رَأْسَهَا، أَيْ عَوْرَتُهَا مَا عَدَا الْوَجْهَ وَالْكَفَّيْنِ وَالرَّأْسَ.

b. Menurut qoul yang lebih shahih seperti yang telah diterangkan oleh Imam al-Baihaqi aurat budak ketika shalat maupun di luar shalat adalah seperti auratnya orang laki-laki yaitu antara pusar sampai dengan lutut.

Keterangan kitab Fathu al-Wahab, Juz 1 hal. 87 dan kitab Hasyiah Qulyubi Wa ‘Umairah, Juz 3 hal. 442.

(وَ) ثَالِثُهَا (سَتْرُ الْعَوْرَةِ) صَلَّى فِي الْخَلْوَةِ أَوْ غَيْرِهَا، فَإِنْ تَرَكَهُ مَعَ الْقُدْرَةِ لَمْ تَصِحَّ صَلاَ تُهُ (وَعَوْرَةُ الرَّجُلِ) حُرًّا كَانَ أَوْ عَبْدًا (مَا بَيْنَ سُرَّتِهِ وَرُكْبَتِهِ) لِحَدِيثِ الْبَيْهَقِيّ، وَإِذَا زَوَّجَ أَحَدُكُمْ أَمَتَهُ عَبْدَهُ أَوْ أَجِيرَهُ فَلَا تَنْظُرُ إلَى عَوْرَتِهِ، وَالْعَوْرَةُ مَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ، (وَكَذَا اْلأَمَةُ) عَوْرَتُهَا مَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ (فِي اْلأَصَحِّ) إلْحَاقًا لَهَا بِالرَّجُلِ.

4. Aurat Karyawati (Wanita Karier)

a. Aurat karyawati adalah seluruh badan, kecuali kepala.

وَفِيْهِ وَجْهٌ اَنَّ جَمِيْعَ ذٰلِكَ عَوْرَةٌ كَمَا فِيْ حَقِّ الْحُرَّةِ سِوَى الرَّأْسِ ( الشرح الكبير للرافعى ج 4 )

b. Aurat karyawati adalah seluruh badan, kecuali anggota badan yang tampak dan terbuka ketika bekerja, seperti kepala, leher, lengan tangan dan ujung betis. Karena anggota tersebut butuh untuk dibuka dan sulit untuk menutupnya.

(وَالثَّانِيَّةُ) مَا يَبْدُو وَيَنْكَشِفُ فِِِي حَالِ الْمِهْنَةِ فَلَيْسَ بِعَوْرَةٍ مِنْهَا وَهُوَ الرَّاْسُ وَالرَّقَبَةُ وَالسَّاعِدُ وَطَرْفُ السَّاقِ لِاَنَّهَا تَحْتَاجُ اِلَي كَشْفِهِ وَيَعْسُرُ عَلَيْهَا سَتْرُهُ ( الشرح الكبير للرافعى ج 4 )

ثَالِثَتُهَا جَمِيْعُ الْبَدَنِ إِلاَّ مَا يَظْهَرُ عِنْدَ الْمِهْنَةِ وَهِيَ عَوْرَتُهَا عِنْدَ النِّسَاءِ الْكَافِرَاتِ (نهاية الزين ص 47 )

5. Aurat Khuntsa (orang yang mempunyai dua jenis kelamin)

a. Aurat khuntsa adalah semua badannya sebagaimana wanita merdeka. (Hasyiyah Qulyubi bab Suruti al-Shalat juz 1)

عَوْرَةُ الْخُنْثَى الرَّقِيْقِ لاَ تَخْتَلِفُ , وَالْخُنْثَى الْحُرِّ كَاْلأُنْثَى الْحُرَّةِ , اِبْتِدَاءً وَكَذَا دَوَامًا , عِنْدَ شَيْخِنَا الرَّمْلِيُّ وَخَالَفَهُ الْخَطِيْبُ (حاشية قليوبى باب شروط الصلاة ج 1 )

b. Aurat khuntsa adalah semua anggota badannya, kecuali wajah, kedua telapak tangan dan kepalanya. Diterangkan dalam kitab Khawasyi al-Syarwani, Juz 2 hal 120.

وَ الْخُنْثَى (فِي اْلأَصَحِّ) عَوْرَتُهَا كَالْحُرَّةِ إلَّا رَأْسَهَا ، أَيْ عَوْرَتُهَا مَا عَدَا الْوَجْهَ وَالْكَفَّيْنِ وَالرَّأْسَ (حاشية الشروانى )

Pornografi

Pornografi adalah bentuk gambar atau patung yang menampilkan keindahan bagian tubuh yang dapat menimbulkan syahwat bagi orang lain, baik yang terdapat pada media cetak, elektronik, maupun pada perilaku seseorang, terutama yang bersumber dari kaum wanita. Dan sangat disayangkan pada saat ini di berbagai daerah di Indonesia makin banyak aksi-aksi porno, baik penayangan dari media cetak, media elektronik maupun langsung.

Dari fenomena tersebut kemudian memunculkan RUU APP. Dan kemudian Pro dan kontra terhadap RUU itupun semakin ramai dan menguat.

Bagaimanakah hukum melihat pornografi?

a. Haram melihat, apabila sampai menimbulkan syahwat dan fitnah.

وَمِنْ مَعَاصِى الْعَيْنِ اَلنَّظْرُ بِهَا مِنَ الذَّكَرِ اِلَى شَيْئٍ مِنْ جَمِيْعِ بَدَنِ أَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ اْلاَجْنَبِيَّاتِ مَعَ الْقَصْدِ. (تَنْبِيْهٌ) عَدَّ فِى الزَّوَاجِرِ نَظْرُ اْلأَجْنَبِيَّةِ بِشَهْوَةٍ وَخَوْفِ فِتْنَةٍ وَلَمْسُهَا كَذٰلِكَ . (اسعاد الرفيق ص 67)

b. Boleh, asal tidak menimbulkan fitnah dan syahwat. (Tuhfah al-Muhtaj, juz 9, hal. 20 - 21)

فَلَا يَحْرُمُ نَظَرُهُ فِي نَحْوِ مِرْآةٍ كَمَا أَفْتَى بِهِ غَيْرُ وَاحِدٍ وَيُؤَيِّدُهُ قَوْلُهُمْ لَوْ عَلَّقَ الطَّلَاقَ بِرُؤْيَتِهَا لَمْ يَحْنَثْ بِرُؤْيَةِ خَيَالِهَا فِي نَحْوِ مِرْآةٍ ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَرَهَا وَمَحَلُّ ذَلِكَ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ حَيْثُ لَمْ يَخْشَ فِتْنَةً وَلَا شَهْوَةً وَلَيْسَ مِنْهَا الصَّوْتُ فَلَا يَحْرُمُ سَمَاعُهُ إلَّا إنْ خَشِيَ مِنْهُ فِتْنَةٌ وَكَذَا إنْ الْتَذَّ بِهِ كَمَا بَحَثَهُ الزَّرْكَشِيُّ. (تحفة المحتاج , ج 9 ص 20 - 21)

Terlepas dari pro-kontra di atas, para ulama’ sepakat melarang untuk mengeksploitasi keindahan tubuh di depan public terutama bagi kaum hawa, hal itu menunjukkan bahwa agama sebenarnya lebih menjunjung tinggi kehormatan manusia.

Hukum Pergaulan Bebas

Pada zaman sekarang memang lebih marak dengan yang namanya pergaulan bebas, sehingga seakan-akan Negara kita punya nilai kebebasan tanpa adanya moral, bahkan masyarakat Indonesia yang biasa dikenal kental dengan adat ketimurannya, sedikit demi sedikit mulai luntur, karena semakin hebatnya pengaruh, transformasi budaya luar.

Pada suatu forum, misalnya acara ulang tahun atau pesta-pesta yang lain sering terlihat dalam acara tersebut banyak bercampurnya antara laki-laki dan perempuan, yang notabene adalah remaja. Sehingga para santri merasa sangat tabu akan hal itu. Bagaimanakah hukum menghadiri suatu acara atau pesta yang demikian itu?

Hukum berbaurnya laki-laki dan perempuan:

a. Haram dan berdosa apabila menghadiri acara tersebut jika nantinya dapat menimbulkan fitnah. Keterangan kitab Is’adul Rafiq:

مِنْ أَقْبَحِ الْمُحَرَّمَاتِ, وَأَشَدِّ اْلمَحْظُوْرَاتِ إِخْتِلاَطُ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ فىِ الْجُمُوْعَاتِ لِمَا يَتَرَتَّبُ عَلَى ذَلِكَ مِنَ الْمَفَاسِدِ وَاْلفِتَنِ اْلقَبِيْحَةِ (اسعاد الرفيق ص 67)

Sebagian perkara yang sangat diharamkan dan dikhawartirkan adalah bercampurnya laki-laki dan perempuan dalam tempat perkumpulan yang dapat menimbulkan fitnah. (Is’ad al-Rafiq hal. 67)

b. Makruh, bilamana menilai kehadirannya dalam acara tersebut timbul rasa khawatir atau takut terkena fitnah/berdampak negatif.

قاَلَ فى الزَّوَاجِرْ: وَهُوَ مِنَ الْكَبَائِرِ لِصَرِيْحِ هٰذِهِ اْلأَحَادِيْثِ, وَيَنْبَغِى حَمْلُهُ لِيُوَافِقَ قَوَاعدُنَا عَلىَ مَا إِذَا تَحَقَّقَتْ الفِتْنَةُ: أَمَّا مُجَرَّدُ خَشْيَتِهَا فَاِنَّمَا هُوَ مَكْرُوْهٌ, وَمَعَ ظَنِّهَا حَرَامٌ غَيْرُ كَبِيْرَةٍ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ.(اسعاد الرفيق ص:136)

c. Boleh menghadiri acara tersebut jika tidak menimbulkan fitnah dan tentunya berdampak positif atau memberikan hal yang lebih baik.

Berbaurnya laki-laki dan perempuan tidak dipermasalahkan jika tidak melanggar aturan agama dan norma-norma yang berlaku, sehingga pergaulan mereka memang merupakan hal yang wajar. Sebagaimana keterangan dalam kitab Is’adur Rofiq hal :136.

Hukum Onani atau Masturbasi

Onani adalah merangsang kemaluan sendiri untuk mencapai orgasme (bagi laki-laki) dan bagi perempuan disebut masturbasi.

Bagaimanakah hukum dari masturbasi atau onani?

a. Haram, menurut Imam Malik, Imam syafi’i, dan Imam Abu Hanifah

b. Boleh, menurut Imam Ahmad bin Hambal tetapi dengan tiga syarat:

1. Khawatir akan melakukan perzina’an.

2. Tidak mampu menikah (tidak punya mahar untuk menikahi wanita)

3. Dengan menggunakan tangannya sendiri, tidak menggunakan tangan orang lain.

Hal ini dijelaskan dalam kitab as-Showi ‘ala Syarhi Tafsir al-Jalalain juz 3 halaman 112.

قَوْلُهُ كَاْلاِسْتِمْناَءِ بِالْيَدِّ أَيْ فَهُوَ حَرَامٌ عِنْدَ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيْ وَأَبِيْ حَنِيْفَةَ فَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلْ يَجُوْزُ بِشُرُوْطِ ثَلاَثَةِ أَنْ يَخَافَ الزِّناَ وَأَنْ لاَ يَجِدَ مَهْرَ حُرَّةٍ أَوْ ثَمَنَ أَمَّةٍ وَأَنْ يَفْعَلَهُ بِيَدِهِ لاَ بِيَدِ أَجْنَِبيِّ أَوْ اَجْنَبِيَّةِ . الصاوي على شرح تفسير الجلالين جز 3 ص 112

Hukum Menyemir Rambut

Semir rambut adalah zat kimia yang dapat merubah warna rambut dari warna aslinya. Bagaimanakah hukum menggunakan semir rambut tersebut untuk menyemir rambut?

1. Hukum menyemir rambut dengan warna hitam

a. Tidak boleh menyemir rambut dengan warna hitam, baik laki-laki maupun perempuan, karena hal tersebut ada unsur merubah ciptaan Allah Swt. (Is’ad al-Rofiq, juz II, hal.119)

مِنْهاَ التَّخْضِيْبُ لِلشَّعْرِ باِلسَّوَادِ وَلَوْلِاْمرَأَةٍ كَماَ قاَلَهُ ابْنُ حَجَرٍ فِى الْمِنْهَجِ الْقَوِيْمِ اِلَى اَنْ قاَلَ بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِيْنَ اَنَّهُ يَحْرُمُ عَلَى الْوَلِىْ خَضْبُ شَعْرِ الصَّبِىِّ وَالصَّبِيَّةِ اِذَا كاَنَ اَصَبَّ بِالسَّوَادِ لِمَا فِيْهِ مِنْ تَغْيِيْرِ الْخِلْقَةِ وَفِىْ شَرْحِ الْمُسْلِمِ لِلنَّوَوِىِّ مَذْهَبُنَا لِلرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ اِسْتِحْباَبُ خِضَابِ الشَّيْبِ بِصُفْرَةٍ اَوْ حَمْرَةٍ وَيَحْرُمُ خِضَابُهُ باِلسَّوَادِ عَلىَ اْلاَصَحِّ

b. Makruh Tanzih, sama halnya dengan tidak mensyukuri apa yang telah diberikan oleh Allah Swt. Karena itu lebih baik diterima apa adanya dari pada merubah warna asli rambut yang diberikan Allah kepada kita. (Is’ad al-Rofiq, juz II, hal.119)

وَقِيْلَ يُكْرَهُ كَرَاهَةَ تَنْزِيْهاً وَالْمُخْتاَرُ التَّحْرِيْمُ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِجْتَنِبُوْا باِلسَّوَادِ

c. Boleh menyemir rambut dengan warna hitam, bagi istri yang mendapat izin dari suaminya. (Is’ad al-Rofiq, juz II, hal.119)

قَالَ الشِّهَابُ الرَّمْلِيُّ فِيْ شَرْحِ نَظْمِ الزُّبَدِ نَعَمْ يَجُوْزُ لِلْمَرْأَةِ ذَلِكَ بِإِذْنِ زَوْجِهَا اَوْ سَيِّدِهَا لِأَنَّ لَهُ غَرَضًا فِيْ تَزْيِيْنِهَا

2. Hukum menyemir rambut yang sudah beruban dengan semir warna kuning atau merah (selain hitam)

Sunnah menyemir rambut yang sudah beruban dengan semir warna merah atau kuning. (Is’ad al-Rofiq, juz II, hal. 119)

وَفِىْ شَرْحِ الْمُسْلِمِ لِلنَّوَوِىِّ مَذْهَبُنَا لِلرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ اِسْتِحْبَابُ خِضَابِ الشَّيْبِ بِصَفْرَةٍ اَوْ حَمْرَةٍ وَيَحْرُمُ خِضَابُهُ باِلسَّوَادِ عَلىَ اْلاَصَحِّ (إسعاد الرفيق ج 2 ص 119)

Dalam Syarah Muslim, Imam Nawawi mengatakan ”Sunnah bagi laki–laki dan perempuan menyemir rambut dengan warna kuning atau merah dan haram menyemir rambut dengan warna hitam menurut pendapat yang lebih shahih.” (Is’ad al-Rofiq, juz II, hal. 119)

يُسَنُّ لِكُلِّ أَحَدٍ إِلَخْ ...وَخَضْبُ شَيْبِ رَأْسِهِ وَ لِحْيَتِهِ بِحَمْرَةٍ اَوْ اَصْفَرٍ اَىْ لاَبِسَوَادٍ اَمَّا بِهِ فَيَحْرُمُ (إعانة الطالبين ج 2 ص 339 )

Disunnahkan menyemir uban rambut kepala dengan warna merah atau kuning yakni tidak dengan warna hitam karena hal tersebut hukumnya haram. (I’anah al-Tholibin, juz II, hal.339)

Hukum Pria Memakai Perhiasan Emas

Wanita akan tampak kelihatan anggun dan cantik apabila memakai perhiasan (emas) yang tidak berlebihan, akan tetapi lain halnya apabila pria yang memakainya. Bagaimanakah hukum pria memakai perhiasan emas?

Dalam hal ini ada beberapa pandangan di kalangan ulama’:

a. Haram bagi pria memakai emas murni maupun campuran

وَكَذَا يَحْرُمُ عَلَى الرِّجاَلِ وَمِثْلُهُمْ اَلْخُنَاثَى (اَلتَّخْتِمُ بِالذَّهَبِ) لِخَبَرِ أَبِيْ دَاوُدَ باِسْناَدٍ صَحِيْحٍ أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَخَذَ فِيْ يَمِيْنِهِ قَطْعَةَ حَرِيْرٍ وَفِيْ شِمَالِهِ قَطْعَةَ ذَهَبٍ. وَقَالَ هَذَانِ أَيْ اِسْتِعْمَالُهُمَا حَرَامٌ عَلَى ذُكُوْرِ أُمَّتِيْ حَلَّ لِأُناَثِهِمْ, وَأُلْحِقَ باِلذُّكُوْرِ اَلْخُناَثَى اِحْتِيَاطًا. وَاحْتَرَزَ بِالتَّخْتِمِ عَنْ اِتْخَاذُ أَنْفٍ أَوْ أَنْمِلَةٍ أَوْ سِنٍّ فَإِنَّهُ لاَ يُحْرَمُ اِتْخَاذُهاَ مِنْ ذَهَبٍ عَلَى مَقْطُوْعِهَا وَإِنْ أَمْكَنَ اِتْخَاذُهَا مِنَ الْفِضَّةِ .(الاقناع فى حال الفاظ ابى شجاع ص 172)

Begitu juga bagi laki-laki, diharamkan memakai cincin dari emas sedangkan bagi khuntsa hukumnya disamakan dengan laki-laki karena adanya sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad shahih; Bahwa Rasulullah Saw. mengambil sepotong sutra pada tangan kanannya dan sepotong emas pada tangan kirinya. Beliau bersabda; sutra dan emas ini, keduanya haram dipakai kaum laki-laki dari umatku. Para khuntsa disamakan dengan laki-laki, karena berhati-hati, dikecualikan dari haramnya memakai cincin yaitu untuk membuat hidung, ujung jari atau gigi palsu dari bahan emas. Demikian itu diperbolehkan bagi orang yang organ-organnya tersebut terpotong, meskipun masih memungkinkan membuatnya dari bahan perak. (Al-Iqna’ Fii Haali al-Fadzi Abi Syuja’, hal.172)

ذَهَبَ الْجُمْهُوْرُ مِنَ الْعُلَمَاءِ اِلَى حَرَمَةِ التَّخَتُّمِ بِالذَّهَبِ لِلرِّجَالِ دُوْنَ النِّسَاءِ. (فقه السنة جز 3 ص 258)

Mayoritas ulama’ berpendapat bahwasannya haram bagi laki-laki memakai cincin dari emas, bukan untuk orang perempuan. (Fiqih as-sunnah, juz III, hal. 258)

b. Makruh bagi pria memakai perhiasan baik dari emas murni maupun campuran. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Fiqih al-Sunnah, juz III, hal.364

وَذَهَبَ جَمَاعَةٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ اِلَى كَرَاهَةِ التَّخْتِمِ بِالذَّهَبِ لِلرِّجَالِ كَراَهَةَ تَنْزِيْهٍ وَلَقَدْ لَبِسَهُ جَمَاعَةٌ مِنَ الصَّحَابَةِ مِنْهُمْ سَعْدُ ابْنُ اَبِيْ وَقَاصٍ وَطَلْحَةُ بْنِ عَبْدِ اللهِ وَصُهَيْبٌ وَحُذَيْفَةُ وَجَابِرُ بْنُ سَمْرَةَ وَالْبَرَّاءُ بْنُ عاَزِبٍ وَلَعَلَّهُمْ حَسَبُوْا اَنَّ النَّهِيَّ لِلتَّنْـزِيْهِ (فقه السنة جز 3 ص259)

Ada sebagian ulama’ yang memakruhkan laki-laki memakai perhiasan emas, karena ada sebagian sahabat yang memakainya, diantaranya adalah Said bin Abi Waqhas dan Talhah bin Abdullah, Suhaib, Hudzaifah, Jabir bin Samroh, Barra’ bin ‘Azib, mereka mengira bahwa larangan itu adalah makruh tanzih. (Fiqih al-Sunnah, juz III, hal.259)

Hukum Tindik bagi Laki-Laki

Sering terlihat di sebagian kalangan dan kadang menjadi tradisi atau trend menindik (melubangi) hidung atau telinga guna memasang anting atau sejenisnya baik laki-laki maupun perempuan.

Bagaimanakah pandangan fiqih apabila orang laki-laki menindik hidung atau telinga?

a. Haram mutlak bagi anak atau orang laki-laki menindik/melubangi hidung atau telinganya, menurut Ulama’ Syafi’iyah

(وَحَرَمٌ تَثْقِيْبُ) أَنْفٍ مُطْلَقًا (وَأُذُنِ) صَبِيٍّ قَطْعًا وَصَبِيَّةٍ عَلَى اْلاَوْجُهِ لِتَعْلِيْقِ الْحَلْقِ كَمَا صَرَحَ بِهِ الْغَزَالِى وَغَيْرُهُ ِلأَنَّهُ إِيْلاَمٌ لَمْ تَدْعُو إِلَيْهِ حَاجَةٌ

Haram mutlak menindik (melubangi) hidung, para ulama’ sepakat atas keharaman menindik telinga anak laki-laki yang masih kecil guna memasang anting, sedangkan pada anak perempuan yang masih kecil menurut qoul aujah juga haram sebab hal itu menyakiti sebelum ada keperluan. I’anah At-Thalibin, Juz 4 hal 175 – 178.

b. Makruh bagi anak laki-laki yang masih balita, menurut sebagian Ulama’ Hambaliyah.

وَفِي الرِّعَايَةِ لِلْحَنَابِلَةِ يَجُوْزُ فِي الصَّبِيَّةِ لِغَرْضِ الزِّيْنَةِ. وَيُكْرَهُ فِي الصَّبِيِّ . إهـ

Dalam kitab ri’ayah karangan pengikut madzhab Hambali menyatakan boleh menindik anak perempuan yang masih kecil, sebab bertujuan sebagai perhiasan, sedangkan pada anak laki-laki yang masih kecil hukumnya makruh.

c. Boleh, menurut Imam Zarkasyi, melubangi telinga laki-laki yang masih balita.

وَجَوَّزُهُ الزَّرْكَشِىُّ وَاسْتَدَلَّ بِمَا فِي حَدِيْثِ أُمِّ زَرْعٍ فِي الصَّحِيْحِ ، وَفِي فَتَاوِى قَاضِيْخَان مِنَ الْحَـنَفِيَّةِ أَنَّهُ لاَبَأْسَ بِهِ ِلأَنَّهُمْ كَانُوْا يَفْعَلُوْنَهُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَلَمْ يَنْكِرُ عَلَيْهِمْ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم ،

Imam Zarkasyi memperlobehkannya berdasarkan hadits Ummi Zarin di dalam hadits Shahih. Fatwa-fatwa Syech Qodikhon pengikut Madzhab Hanafi, menyatakan bahwa tidak mengapa melakukan hal itu sebab pernah dilakukan pada zaman jahiliyah, sedangkan Nabi Saw. tidak mengingkarinya.

Menindik telinga bagi perempuan kebanyakan ulama’ tidak melarang karena hal itu ada hak baginya untuk memperindah dan menghiasi dirinya. Asalkan saat menindik tidak menimbulkan dampak negatif.

وَالتَّعْذِيْبُ فِي مِثْلِ هَذِهِ الزِّيْنَةِ الدَّاعِيَةِ لِرَغْبَةِ اْلأَزْوَاجِ إِلَيْهِنَّ سَهِلَ مُحْتَمِلٌ وَمُغْتَفِرٌ لِتِلْكَ الْمَصْلَحَةِ . فَتَأَمَّلَ ذَلِكَ فَإِنَّهُ مُهِمٌّ .

(إعانة الطالبين الجزء الرابع ص: 175 – 178)

Sedangkan menyakiti demi untuk perhiasan yang dapat menimbulkan rasa cinta suami pada istrinya itu sangat ringan dan tidak masalah sebab ada unsur kemaslahatan.

Keterangan tersebut di atas terdapat pada kitab I’anah At-Thalibin, Juz 4 hal 175 – 178.

Hukum Tato

Di kalangan remaja sering kita jumpai banyak para remaja yang bertato, menurut mereka tato merupakan style atau mode, bahkan bagi sebagian dari mereka merasa ada suatu kebanggaan tersendiri kalau bisa mentato tubuhnya, bahkan ada yang hampir seluruh tubuhnya terlukis tato.

Tato adalah zat yang dapat dituangkan pada tubuh dengan bentuk gambar atau yang lain melalui berbagai cara sehingga tato tersebut terkadang berada di kulit lapisan luar atau kulit lapisan dalam, dan bisa menyebabkan tidak meresapnya air pada kulit baik ketika mandi besar ataupun wudlu’. Bagaimanakah hukum orang yang tubuhnya di tato? Dan sahkah wudlu’nya?

Ulama’ berpendapat: Hukum mentato tubuh adalah Haram, karena perbuatan itu dilaknat Allah Swt dan Nabi pun melaknatnya juga. Sebagaimana keterangan dalam kitab Is’ad al-Rafiq hal. 122:

وَمِنْهاَ الْوَشْمُ وَطَلَبُ عَمَلِهِ قاَلَ الْكُرْدِىُّ وَهُوَ أَىْ الْوَشْمُ غََرْزُ الْجِلْدِ بِالْإِبْرَةِ حَتَّى يَخْرُجَ الدَّمُ ثُمَّ يَذُرَّ عَلَيْهِ وَيَحْشَى بِهِ الْمَحَلُّ مِنْ نَيْلَةٍ اَوْ نَحْوِهاَ لِيَزْرُقَ اَوْ يَسْوَدَّ لِأَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ فاَعِلَ ذلِكَ (اسعاد الرفيق ص 122)

Mengenai tentang sah dan tidaknya wudlu’ atau mandi besar orang yang tubuhnya bertato para ulama’ berbeda berpendapat:

a. Tidak sah wudlu’ atau mandi besarnya tubuh yang bertato, apabila tato tersebut berada di lapisan luar kulit, karena bisa mencegah sampainya air kepada kulit. Fathu al-Mu’in halaman 5.

b. Apabila di bawah kulit maka sah, karena tidak menghalangi sampainya air kepada kulit. Fathu al-Mu’in halaman 5.

وَ(رَابِعُهَا) أَنْ لَا يَكُوْنَ عَلَى الْعُضْوِ حَائِلٌ بَيْنَ الْمَاءِ وَالْمَغْسُوْلِ كَنُوْرَةٍ وَشَمْعٍ وَدُهْنٍ جَامِدٍ وَعَيْنِ حَبْرٍ وَحَنَاءٍ بِخِلاَفِ دُهْنٍ جَارٍ أَيْ مَائِعٍ وَإِنْ لَمْ يَثْبُتْ الْمَاءُ عَلَيْهِ وَأَثْرُ حَبْرٍ وَحَنَاءٌ. (فتح المعين، ص 5).

c. Apabila tato itu dilakukan atas dasar persetujuan orang yang ditato, dia tidak khawatir akan terjadi bahaya ketika menghilangkannya, dan apabila tato tersebut tidak dihilangkan, maka dia tidak bisa menghilangkan hadatsnya, karena tatonya bercampur najis. Otomatis kalau dia ingin bersuci harus menghilangkan tatonya terlebih dahulu.

d. Akan tetapi apabila dia khawatir dengan bahaya apabila menghilangkannya, maka dima’fu/dimaafkan untuk membiarkan tatonya tersebut, dan bersucinya tetap sah dan orang tersebut tetap sah menjadi imam. Sebagaimana diterangkan dalam kitab Nihayah al-Muhtaj, juz I, hal. 178

وَكَذَا الْوَشْمُ وَهُوَ غَرْزُ الْجِلْدِ بِالْإِبرة حَتَّى يَخْرُجَ الدَّمُ ثُمَّ يَذُرَّ نَحْوَ نِيْلَةٍ لَيَزْرُقَ بِهِ أَوْ يَخْضُرَ فَفِيْهِ تَفْصِيْلُ الْجَبْرِ خِلَافًا لِمَنْ قَالَ إِنَّ بَابَهُ أَوْسَعُ فَعُلِمَ مِنْ ذَلِكَ أَنَّ مَنْ فَعَلَ الْوَشْمَ بِرِضَاهُ فِي حَالَةِ تَكْلِيْفِهِ وَلَمْ يَخَفْ مِنْ إِزَالَتِهِ ضَرَرًا يُبِيْحُ التَّيَمُّمَ مُنِعَ ارْتِفَاعُ الْحَدَثِ عَنْ مَحَلِّهِ ِلَتَنَجُّسِهِ وَإِلَّا عُذِرَ فِي بَقَاِئهِ وَعُفِيَ عَنْهُ بِالنِّسْبَةِ لَهُ وَلِغَيْرِهِ وَصَحَّتْ طَهَارَتُهُ وَإِمَامَتُهُ وَحَيْثُ لَمْ يُعْذَرْ فِيْهِ وَلَا فِي مَاءٍ قَلِيْلًا أَوْ مَاِئعًا أَوْ رَطْبًا نَجْسُهُ كَذَا أَفْتَى بِهِ اْلَواِلُد رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى وَإِلَّا أَيْ بِأَنْ وَصَلَهُ بِهِ مَعَ وُجُوْدٍ صَالِحٍ طَاِهرٍ أَوْ مَعَ عَدَمِ الْحَاجَةِ أَصْلًا حَرُمَ عَلَيْهِ لِلتَّعَدِّيْ وَ وَجَبَ عَلَيْهِ نَزْعُهُ وَيجْبر عَلَى ذَلِكَ ِإنْ لَمْ يَخَفْ ضَرَرًا ظَاهِرًا يُبِيْحُ التَّيَمُّمَ وَإِنْ اكْتَسَى لَحْمًا كَمَا لَوْ حَمَلَ نَجَاسَةً تَعَدَّى بِحَمْلِهَا مَعَ تَمَكُّنِهِ مِنْ ِإزَالَتِهَا وَكَوَصْلِ الْمَرْأَةِ شَعْرَهَا بِشَعْرٍ نَجِسٍ فَإِنْ امْتَنَعَ لَزِمَ الْحَاكِم نَزْعَهُ لِدُخُوْلِ النِّيَابَةِ فِيْهِ كَرَدِّ الْمَغْصُوْبِ وَلَا اعْتِبَارَ بِأَلَمِهِ حَالًا إِنْ أَمِنَ مَآلًا وَلَا تَصِحُّ صَلَاتُهُ حِيْنَئِذٍ

Hukum Wanita Memakai Celana Ketat

Cara berbusana adalah berbeda-beda, sesuai dengan budaya dari setiap daerah tertentu, misalnya cara berbusana di Indonesia juga berbeda-beda, yang jawa memakai pakaian adat Jawa, yang dari batak memakai busana adat Batak, dan lain-lain. Kalau jubah adalah budaya busana dari bangsa arab. Intinya setiap daerah pasti memiliki khas atau budaya sendiri-sendiri.

Namun di masa moderen seperti saat ini, terdapat banyak perkembangan mode atau style dalam berpenampilan pada masyarakat, khususnya bagi kaum hawa banyak sekali perkembangan dalam model atau cara berbusana, seperti halnya memakai celana, disamping berfungsi sebagai penutup aurat juga sebagai sarana untuk mempercantik diri dan memperindah penampilan. Tidak sedikit dari para wanita yang menggunakan celana ketat, sehingga sampai terlihat lekukan-lekukan tubuhnya.

Dari fenomena di atas, bagaimanakah pandangan fiqih tentang hukum wanita yang berbusana dengan memakai celana ketat?

Dalam hal ini, para ulama’ berbeda pandangan;

a. Tidak diperbolehkan bagi wanita memakai celana ketat sehingga menimbulkan syahwat bagi yang melihatnya apalagi sampai kelihatan warna kulitnya.

b. Makruh bagi wanita memakai celana ketat.

وَيَكْفِى مَا يُحْكَي لِحَجْمِ الْاَعْضَاءِ (اَيْ وَ يَكْفِيْ جِرْمٌ يَدْرِكُ النَّاسُ مِنْهُ قَدْرَ الْاَعْضَاءِ كَسَرَاوِيْلَ ضَيْقَةٍ) لَكِنَّهُ خِلَافُ الْاَوْلَى (اَيْ لِلرَّجُلِ وَاَمَّالْمَرأَةُ وَالْخُنْثَي فَيُكْرَهُ لَهُمَا) ( حاشية إعا نة الطا لبين ج 1 ص 134 )

وَشَرْطُ السَّاتِرِ فِى الصَّلاَةِ وَخاَرِجِهاَ اَنْ يَشْمِلَ الْمَسْتُوْرُ لَبِساً وَنَحْوَهُ مَعَ سَتْرِ اللَّوْنِ فَيَكْفِى مَا يَمْنَعُ اِدْرَاكَ لَوْنِ الْبَشَرَةِ

(Mauhibah Dzil Fadlal, juz II, hal. 326-327 dan al-Minhaj al-Qawim juz 1 hal 234).

Hukum Wanita Kerja pada Malam Hari

Di era globalisasi saat ini, jumlah tenaga kerja wanita bertambah besar bahkan hampir mendominasi lapangan pekerjaan dalam bidang industri. Di perusahaan besar pekerjaan berjalan full time/24 jam atau sehari penuh, dan dalam 24 jam tersebut biasanya dibagi menjadi 3 sift (giliran), berarti setiap delapan jam ganti sift. Ketika seorang pekerja wanita mendapat giliran jam kerja pada waktu malam hari, dikhawatirkan terjadi kerawanan dan tidak menuntut kemungkinan bisa membahayakan kemanan dari pekerja wanita tersebut. Kalau dipandang dari agama bagaimanakah hukum seorang wanita bekerja pada malam hari di luar rumah?

Dalam hal ini para ulama’ mempunyai pandangan yang berbeda-beda:

a. Apabila diduga kuat bisa menimbulkan fitnah maka hukumnya adalah haram.

b. Makruh, apabila hanya sekedar ada kekhawatiran akan terjadinya fitnah.

Sebagaimana keterangan dalam kitab Is’ad al-Rofiq:

قاَلَ فِى الزَّوَاجِرِ وَهُوَمِنَ الْكَباَئِرِ لِصَرِيْحِ هَذِهِ اْلأَحَادِيْثِ وَيَنْبَغِيْ حَمْلُهُ لِيُوَافِقَ عَلَى قَوَاعِدِناَ عَلَى مَا اِذَا تَحَقَّقَتْ اَلْفِتْنَةُ. أَمَّا مُجَرَّدُ خَشْيَتِهاَ فَاِنَّمَا هُوَ مَكْرُوْهٌ وَمَعَ ظَنِّهَا حَرَامٌ غَيْرُ كَبِيْرٍ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ (اسعاد الرفيق ج 2 ص 136)

Dalam kitab Al-Zawajir disebutkan bahwa sesuai dengan redaksi hadits di atas, maka (keluarnya wanita dari rumah) adalah termasuk dosa besar. Agar pernyataan ini sesuai dengan kaidah-kaidah kita, maka harus dipahami dalam keadaan jika memang benar-benar akan terjadi fitnah. Adapun jika hanya sekedar ada kekhawatiran terjadinya fitnah, maka hukumnya makruh. Sedangkan jika disertai dengan dugaan kuat adanya fitnah, maka hukumnya haram, namun bukan dosa besar. (Is’ad al-Rofiq, juz II, hal. 136)

c. Boleh, bagi wanita bekerja di malam hari karena untuk mencari nafkah, asalkan aman dari fitnah dan mendapat ijin dari suaminya atau wali (bagi yang masih belum punya suami). Hal ini diterangkan dalam kitab I’anah al-Thalibin:

وَمِنْهاَ (اَيْ مِنَ الْمَوَاضِعِ الَّتِيْ يَجُوْزُ الْخُرُوْجُ ِلأَجْلِهَا) اِذَا خَرَجَتْ لِاكْتِسَابِ نَفَقَةٍ بِتِجَارَةٍ أََوْ سُؤَالِ أَيْ سُؤَالِ نَفَقَةٍ أَيْ طَلَبِهاَ عَلَى وَجْهِ الصَّدَقَةِ أَوْكَسْبٍ اِذَا عَسَرَالزَّوْجُ (اعانة الطالبين ج 4 ص 81 )

Dan diantara hal-hal yang memperbolehkan wanita bekerja di luar rumah adalah jika keluarnya itu untuk mencari nafkah, dengan berdagang, meminta sedekah atau mencari pekerjaan ketika suami sedang dalam kesulitan uang (ada udzur). (I’anah al-Thalibin, juz IV, hal. 81)

Hukum Mengeraskan Bacaan Al-Qur’an bagi Wanita di Hadapan Khalayak Umum

Setiap tahun di Pondok Pesantren Ngalah, ketika merayakan acara Haflah Akhirussanah diadakan lomba Qiro’ah dan pidato yang diikuti oleh santri putra dan putri. Bagi santri putra sudah tidak ada keraguan lagi dalam hukum fiqih mengenai hukum suaranya. Namun bagi santri putri ini bagaimanakah hukum mengikuti lomba tersebut, karena ada sebagian pendapat yang mengatakan suara perempuan itu termasuk aurot, sedangkan lomba tersebut memakai pengeras suara (sounds system), bertempat di atas panggung dan disaksikan oleh seluruh santri dan masyarakat sekitar.

Dari keterangan tersebut di atas, bagaimanakah hukum seseorang Perempuan/wanita mengeraskan suaranya ketika membaca al-Qur’an (Qiro’ah) atau berpidato dengan menggunakan alat pengeras suara di hadapan khalayak umum?.

a. Haram, apabila menimbulkan fitnah atau menimbulkan rasa ladzat atau syahwat.

b. Boleh, apabila tidak menimbulkan fitnah atau tidak menimbulkan rasa ladzat atau syahwat, karena suara orang perempuan bukan termasuk aurat menurut pendapat yang lebih shahih.

Hal ini diterangkan dalam kitab I’anah al-Thalibin juz 3. halaman 260.

وَلَيْسَ مِنَ العَوْرَةِ الصَوْتُ فَلاَ يَحْرُمُ سِمَاعُهُ اِلاَّ اَنْ خُشِيَ مِنْهُ فِتْنَةٌ أَوِ التَّلَذُّذُ بِهِ أَىْ فَاِِنَّهُ يَحْرُمُ سِمَاعُهُ أَىْ وَلَوْ بِنَحْوِ قُرْأَنٍ. وَمِنَ الصَّوْتِ اَلزَّغاَرِيْدُ ( اعانة الطالبين ج 3 ص 260 )

Artinya: suara perempuan tidak termasuk aurat, maka tidak haram mendengarkannya, kecuali jika dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah atau laki-laki menikmati suaranya, maksudnya haram bagi laki-laki untuk mendengarkannya, walaupun yang dibaca itu al-Qur’an. Dengungan nada tanpa kata-kata (rengeng-rengeng) juga termasuk suara.

.

وَفِي الْبُجَيْرَمِىِّ وَصَوْتـُهَا لَيْسَ بِعَوْرَاةٍ عَلىَ اْلاَصَحِّ لَكِنْ يَحْرُمُ اْلاِصْغاَءُ اِلَيْهِ عِنْدَ خَوْفِ اْلفِتْنَةِ وَاِذَا قَرَعَ باَبَ اْمرَأَةٍ أَحَدٌ فَلاَ تُجِيْـبُهُ بِصَوْتٍ رَخِيْمٍ بَلْ تُغَلِّظُ صَوْتَهَا بِاَنْ تَأْخُذَ طَرَفَ كََفِّهَا بِفِيْهَا . اهـ ( اعانة الطالبين ج 3 ص 260 )

Artinya: suara perempuan bukanlah aurat menurut pendapat yang lebih shahih, tetapi haram mendengarkannya ketika akan menimbulkan fitnah. Apabila seorang laki-laki mengetuk pintu rumah perempuan, maka perempuan tersebut tidak boleh menjawabnya dengan suara yang lembut, melainkan ia harus menjelekkan suarannya dengan cara menutupkan ujung telapak tangannya pada mulutnya.

Hukum Jual Beli Kucing

Bagaimanakah hukum dari jual beli kucing, karena sekarang ini semakin marak masyarakat yang melakukan transaksi perdagangan hewan kucing, bahkan banyak pasar yang khusus menjual macam-macam kucing?.

Diperbolehkan menjual hewan yang bisa diambil manfaanya, seperti digunakan untuk berburu, diambil kulitnya atau madunya, disamping hewan tersebut ada dan dapat disaksikan oleh pembeli yakni hadir pada tempatnya juga harus memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut:

1. Hewan yang dijual dalam keadaan suci.

2. Dapat diambil manfaatnya sesuai dengan yang dimaksudkan.

3. Dapat diserahkan pada pihak pembeli.

Hal ini diterangkan dalam kitab:

- IhyaUlummu ad-din juz 2 halaman 67 penerbit hidayah dan hal 62 terbitan Darul Kutub Beirut.

وَيَجُوْزُ بَيْعُ الْهِرَّةِ وَالنَّحِلِ وَبَيْعُ اْلفَهْدِ وَاْلأَسَدِ وَمَايَصْلُحُ لِصَيِّدِ اَوْيَنْتَفِعُ بِـجِلْدِهِ

Diperbolehkan menjual kucing, lebah, harimau dan hewan yang dapat digunakan untuk berburu atau diambil kemanfaatannya.

- Raudhah at-Thalibin halaman 505

وَمِمَّا يَنْتـَفِعُ بِهِ اَلْقِرْدُ وَاْلفِيْلُ وَاْلهِرَّةُ وَدُوْدُ اْلقُزِّ وَبَيْعُ النَّحِلِ فِي اْلكَوَارَةِ صَحِيْحٌ إِنْ شَاهِدَ جَمِيْعُهُ وَإِلاَّ فَهُوَ مِنْ بَيْعِ اْلغَائِبِ .

Diantara hewan yang dapat diambil manfaatnya antara lain, kera, kucing, ulat sutra, dan menjual lebah yang masih dalam sarangnya hukumnya shahih apabila dapat di lihat semuanya (barang yang dijual dapat disaksikan), apabila tidak maka termasuk kategori jual beli barang ghaib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar