BAB XIV
HAJI DAN UMRAH
Tasyakuran Haji
Setelah melaksanakan haji dan pulang ke rumahnya, jama’ah haji biasanya mengadakan tasyakuran yang disebut walimatul Naqi’ah yaitu: Walimah yang diadakan untuk selamatan orang yang datang dari bepergian (walimah haji), bahkan seorang yang telah melaksanakan haji disunnahkan untuk mengadakan tasyakuran, yakni dengan menyembelih sapi atau unta. Apakah walimah itu ada dasar hukumnya?
Dalam kitab al-Fiqih al-Wadlhih dijelaskan;
يُسْتَحَبُّ لِلْحَاجِّ بَعْدَ رُجُوعِهِ اِلَى بَلَدِهِ اَنْ يَنْحَرَ جَمَلاً اَوْ بَقَرَةً اَوْ يَذْبَحَ شَاةً لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْنِ وَالْجِيْرَانِ وَالْإِخْوَانِ تَقَرُّباً اِلىَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ كَماَ فَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (الفقه الواضح من الكتاب والسنة , ج 1 ص 673)
Disunnahkan bagi orang yang baru pulang haji untuk menyembelih seekor onta, sapi atau menyembelih kambing (untuk diberikan) kepada fakir, miskin, tetangga, saudara. (hal ini dilakukan) sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah ‘Azza Waa Jalla, Sebagaimana yang telah diamalkan oleh Nabi Saw. (Al-Fiqih al-Wadlhih Min al-Kitab wa al-Sunnah, Juz I, hal. 673)
Kesunnahan ini berdasarkan hadits Nabi;
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا قَدِمَ الْمَدِيْنَةَ نَحَرَ جَزُوْرًا اَوْ بَقَرَةً. ( صحيح البخاري , باب الطعام عند القدوم )
Dari Jabir bin Abdullah ra. Bahwa ketika Rasulullah Saw. Datang ke Madinah (usai melaksanakan ibadah haji), beliau menyembelih kambing atau sapi. (Shahih al-Bukhari, bab al-Tho’amu ‘Inda al-Qudum)
Namun di sebagian daerah, walimah haji itu tidak hanya dilakukan setelah mereka pulang dari tanah suci, selamatan itu juga dilakukan sebelum mereka berangkat ke tanah suci, atau setelah mereka melunasi ONH-nya. Kalau melihat isinya, maka walimah tersebut tujuannya tidak jauh berbeda dengan walimah setelah haji.
Dari beberapa keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa mengadakan walimatul haji merupakan suatu ibadah sunnah yang diajarkan oleh Nabi Saw.
Macam-Macam Thawaf dan Hukumnya
a. Thawaf Ifadhah, thawaf ini merupakan salah satu rukunnya haji, jadi hukum melaksanakannya adalah wajib. Fathu al-Qadir bab al-Ihram juz 5 hal 234.
قَالَ ( وَهَذَا الطَّوَافُ هُوَ الْمَفْرُوضُ فِي الْحَجِّ ) وَهُوَ رُكْنٌ فِيهِ إذْ هُوَ الْمَأْمُوْرُ بِهِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى { وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ } وَيُسَمَّى طَوَافُ الْإِفَاضَةِ وَطَوَافُ يَوْمِ النَّحْرِ ( فتح القدير في باب الاحرام )
b. Thawaf Qudum, thawaf ini dilaksanakan ketika memasuki Baitul Haram dan hukum untuk melaksanakannya adalah sunnah. (Fathu al-Mu’in, hal. 62)
(وَطَوَافُ قُدُوْمٍ) ِلأَنَّهُ تَحِيَّةُ الْبَيْتِ وَإِنَّمَا يُسَنُّ لِحَاجٍ أَوْ قاَرِنٍ دُخُلُ مَكَّةَ قَبْلَ الْوُقُوْفِ وَلاَ يَفُوْتَ بِالْجُلُوْسِ وَلاَ بِتَأْخِيْرِ نعم يَفُوْتُ بِالْوُقُوْفِ بِعَرَفَةَ ( فتح المعين:62 )
c. Thawaf Wada’, thawaf ini juga bisa dikatakan thawaf perpisahan, yaitu dilakukan ketika jama’ah haji hendak pulang dari Tanah Suci. Adapun hukumnya khilaf:
- Qoul mu’tamad, termasuk wajib
( قَوْلُهُ وَطَوَافُ الْوَدَاعِ ) بِالرَّفْعِ مَعْطُوْفٌ عَلَى إِحْرَامٍ أَيْضًا وَقَدْ عَلِمْتَ أَنَّ عَدَّهُ مِنْ وَاجِبَاتِ الْحَجِّ رَأْيٌ ضَعِيْفٌ وَالْمُعْتَمَدُ أَنَّهُ وَاجِبٌ مُسْتَقِلٌّ (حاشية اعانة الطالبين ج 2 ص 305 )
- Menurut Imam Syafi’i sunnah untuk melaksanakannya karena thawaf wada’ juga dilakukan pada tempat thawaf qudum. (al-Inayah Syarhu al-Hidayah bab al-Ihram, juz 4, hal.2)
وَقَوْلُهُ ( وَيُسَمَّى طَوَافَ الْوَدَاعِ ) الْوَدَاعُ بِفَتْحِ الْوَاوِ اسْمٌ لِلتَّوْدِيعِ كَسَلَامٍ وَكَلَامٍ وَهُوَ وَاجِبٌ عِنْدَنَا خِلَافًا لِلشَّافِعِيِّ ) فَإِنَّهُ عِنْدَهُ سُنَّةٌ لِأَنَّهُ بِمَنْزِلَةِ طَوَافِ الْقُدُومِ ، ( الاناية شرح الهداية باب الاحرام )
Hukum Thawaf dalam Kondisi Hadats
Bagaimanakah hukum thawaf yang dilakukan dalam kondisi hadats?
Dalam hal ini ada perbedaan pendapat;
a. Sebagian Ulama’, thawafnya tidak sah
b. Menurut Imam al-Muzani, thawafnya sah
Sebagaimana hal dijelaskan dalam kitab Hamisi Fathu al-Mu’in.
(وَشُرُوْطُ الطَّوَافِ) سِتَّةٌ اََحَدُهاَ (طُهْرٌ) عَنْ حَدَثٍ وَخُبُثٍ اهـ فتح المعين هذَا هُوَ الصَّحِيْحُ الْمُعْتَمَدُ وَلَناَ قَوْلٌ ضَعِيْفٌ ذَكَرَهُ اَلْمُزَنِىْ فِى مُخْتَصَرِهِ أََنَّ الطَّوَافَ يَصِحُّ مَعَ الْحَدَثِ اهـ (هامس فتح المعين, ص 61)
Syarat-syarat thawaf itu ada enam, salah satunya harus suci dari hadats dan najis. Demikian ini menurut pendapat shahih yang bisa dibuat pegangan. Dan kita pun sebenarnya menjumpai qoul dlaif yang telah disebutkan oleh al-Muzani dalam kitab mukhtasharnya yaitu: thawaf itu dihukumi sah meskipun dalam keadaan berhadats. (Hamisi Fath al-Muin, hal.61)
Hukum Bermalam di Mina
Ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum bermalam di Mina:
a. Menurut mayoritas ulama’, bahwa bermalam di Mina hukumnya wajib (karena termasuk wajib haji). Jadi ketika jama’ah haji tidak bisa bermalam di Mina, maka ada denda baginya. Hasyiyah al-Bajuri juz 1 hal. 322.
وَالسَّادِسُ الْمَبِيْتُ بِمِنَى هَذَا مَا صَحَّحَهُ الرَّافِعِيُّ لَكِنْ صَحَّحَ النَّوَاوِيُّ فِيْ زِياَدَةِ الرَّوْضَةِ الْوُجُوْبَ ( حاشية الباجوري ج 1 ص 322 )
b. Sedangkan menurut Imam Syafi’i, ada dua pendapat: Yang pertama wajib bermalam di Mina dan yang kedua hukumnya sunnah, dengan catatan jika ditinggalkan tetap diharuskan membayar dam.
فِيْهِ قَوْلاَنِ لِلشَّافِعِيِّ أَظْهَرُهُمَا أَنَّهُ وَاجِبٌ وَالثَّانِيْ أَنَّهُ سُنَّةٌ فَإِنْ تَرَكَهُ جَبَّرَهُ بِدَمٍ (شرح المنهاج الجزء 2 ص 470 )
Waktu Melempar Jumrah Ula, Wustho dan Aqobah pada hari Tasyrik
Kapankah waktu yang tepat untuk melempar jumrah Ula, Wustho dan Aqobah pada hari Tasyrik:
Ulama’ berbeda pendapat tentang kapankah waktu yang tepat untuk melempar jumrah, pendapat mereka adalah sebagai berikut:
a. Harus setelah dhuhur, kalau sesuai dengan hari yang ditentukan, apabila tidak sesuai (molor/mundur) dari hari yang sudah ditentukan maka boleh dilakukan sebelum dhuhur.
( قَوْلُهُ بَعْدَ زَوَالِ إِلَخْ ) مُتَعَلِّقٌ بِرَمْيٍ بِالنِّسْبَةِ إِلَى الْجَمَرَاتِ أَيْ وَيَكُوْنُ الرَّمْيُ إِلَى الْجَمَرَاتِ الثَّلاَثِ بَعْدَ الزَّوَالِ فَلاَ يَصِحُّ الرَّمْيُ قَبْلَ الزَّوَالِ وَهَذَا بِالنِّسْبَةِ لِرَمْيِ الْيَوْمِ الْحَاضِرِ أَمَّا بِالنِّسْبَةِ لِرَمْيِ الْيَوْمِ الْغَائِبِ فَيَتَدَارَكُ فِيْ بَقِيَّةِ أَياَمِ التَّشْرِيْقِ وَلَوْ كاَنَ قَبْلَ الزَّوَالِ ( حاشية اعانة الطالبين ج 2 ص 306 )
Melempar jumrah Ula, Wustho, Aqobah, wajib dilakukan setelah dhuhur. Maka tidak sah melempar sebelum dhuhur, ini kalau dilakukan untuk lemparan pada harinya, akan tetapi kalau untuk lemparan yang dilakukan tidak sesuai dengan harinya maka boleh dilakukan sebelum dhuhur. (Hasyiyah I’anah al-Thalibin bab haji juz 2 halaman 306)
b. Lebih utama dilaksanakan setelah masuk waktu dhuhur.
( وَاعْلَمْ ) أَنَّ الرَّمْيَ أَيَّامِ التَّشْرِيْقِ ثَلاَثَةُ أَوْقَاتٍ وَقْتُ فَضِيْلَةٍ وَهُوَ بَعْدَ الزَّوَالِ (حاشية اعانة الطالبين ج 2 ص 306 )
Ketahuilah sesungguhnya waktu melempar jumrah mempunyai tiga waktu, dan waktu yang lebih utama adalah setelah dhuhur. (Hasyiyah I’anah al-Thalibin bab haji juz 2 halaman 306)
c. Menurut Imam Haromain dan Imam Rofi’i dan pengikutnya Imam Asnawi, berpendapat bahwa melempar jumrah sebelum masuk waktu dhuhur hukumnya mubah (boleh), tetapi dengan syarat setelah keluarnya fajar. Diterangkan dalam kitab I’anah al-Thalibin:
وَالْمُعْتَمَدُ جَوَازَهُ فِيْهَا أَيْضًا وَجَوَازَهُ قَبْلَ الزَّوَالِ بَلْ جَزَمَ الرَّفِعِىُّ وَتَبِعَهُ اْلاَسْنَوِىُّ وَقاَلَ اِنَّهُ الْمَعْرُوْفُ بِجَوَازٍ رَمَى كُلَّ يَوْمٍ قَبْلَ الزَّوَالِ وَعَلَيْهِ فَيَدْخُلُ بِالْفَجَرِ (إعانة الطالبين جز307,2)
Menurut pendapat yang bisa dijadikan pedoman, bahwa boleh melempar jumrah sebelum dhuhur sebagaimana telah ditetapkan oleh imam Rofi’i dan diikuti oleh imam Asnawi bahwa boleh melempar jumrah setiap hari sebelum dhuhur dengan syarat setelah masuk waktu fajar. ( I’anah al-Thalibin bab Haji juz 2 hal 307 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar