BUKU GALAK GAMPIL INI MENERANGKAN TENTANG MASALAH-MASALAH FIQHIYAH DI TINJAU DARI BERBAGAI MACAM HUKUM

Rabu, 02 Juni 2010

PEMAKAMAN

BAB XXI

PEMAKAMAN

Macam-macam Orang Mati Syahid

Menurut Imam Ibnu Rif’ah dan sahabatnya, orang yang mati syahid itu ada tiga golongan, yaitu:

1. Syahid ‘Indallah (mati syahid menurut Allah) diantaranya:

a. Orang yang meninggal karena dibunuh secara zhalim

b. Meninggal karena tenggelam

c. Meninggal karena terbakar

d. Meninggal karena tertimpa bangunan

e. Meninggal karena sakit perut

f. Meninggal karena dilukai oleh orang lain

g. Meninggal karena kerinduan

h. Meninggal mendadak

i. Meninggal karena sakit waktu melahirkan

j. Meninggal di negeri orang kafir Harbi (Musuh)

Orang yang meninggal di atas termasuk golongan yang wajib diperlakukan sebagaimana mestinya (dimandikan dan dishalati).

2. Syahid Fid Dunya (mati syahid menurut manusia)

a. Orang yang meninggal sebagai pengatur strategi perang yang tidak terjun langsung dalam medan peperangan.

b. Orang yang meninggal dunia dalam peperangan akan tetapi memihak kepada kelompok lain.

c. Orang yang meninggal dunia dalam peperangan karena riya’ dan mencari popularitas.

Orang-orang yang meninggal di atas sebagai syahid secara hukum, jadi tidak wajib dimandikan dan dishalati.

3. Syahid Fid Dunya Wal Akhirat (mati syahid menurut Allah dan Manusia).

Yang termasuk golongan ini, yaitu orang yang meninggal karena berperang membela agama Allah (fii sabilillah). Mayat golongan ini tidak dimandikan dan tidak perlu dishalati. (Kifayah al-Akhyar, Fashal Fii al-Mu’tadati al-Raj’iyah juz I, hal.164).

وَإثْنَانِ لاَيُغْسَلاَنِ وَلا يُصَلَّى عَلَيْهِمَا : اَلشَّهِيْدُ فِى مَعْرَكَةِ اْلكُفََّارِ وَالسِّقْطُ اَّلذِى لَمْ يَسْتَهِلْ

Artinya : Dan dua orang yang tidak dimandikan dan tidak dishalati atas mereka: (1) orang yang meninggal dalam medan pertempuran melawan orang-orang kafir dan (2) janin yang jatuh (bayi kluron) yang belum sempat menangis.

(وَاثْنَانِ لاَ يُغْسَلاَنِ وَلَا يُصَلّى عَلَيْهِمَا الشَّهِيْدُ فِي مَعْرَكَةِ الْكُفَّارِ وَالسِّقْطُ الَّذِيْ لَمْ يَسْتَهِلْ ) وَيُصَلَّى عَلَيْهِ إِنْ اخْتَلَجَ اعْلَمْ أَنَّ الشَّهِيْدَ يَصْدُقُ عَلَى كُلِّ مَنْ قُتِلَ ظُلْمًا أَوْ مَاتَ بِغَرَقٍ أَوْ حَرَقٍ أَوْ هَدَمٍ أَوْ مَاتَ مَبْطُوْناً أَوْ مَاتَ عِشْقًا أَوْ كَانَتْ إِمْرَأَةٌ وَمَاتَتْ فِي الطَّلْقِ وَنَحْوِ ذَلِكَ وَكَذَا مَنْ مَاتَ فُجْأَةً أَوْ فِي دَارِ الْحَرْبِ قَالَهُ ابْنُ الرِّفْعَةُ وَمَعَ صِدْقِهِ أَنَّهُمْ شُهَدَاءٌ فَهَؤُلَاءُ يُغْسَلُوْنَ وَيُصَلَّي عَلَيْهِمْ كَسَاِئرِ المْـَوْتَى وَمَعْنَى الشَّهَادَةِ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَ. وَأَمَّا مَنْ مَاتَ فِْي قِتَالِ الْكُفَّارِ مُدَبِّرًا غَيْرَ مُتَحَرِّفٍ لِقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزًا إِلىَ الْفِئَةِ أَوْ كَانَ يُقَاتِلُ رِيَاءً وَسُمْعَةً فَهَذَا شَهِيْدٌ فِي الْحُكْمِ ِبمَعْنَى أَنَّهُ لَا يُغْسَلُ وَلَا يُصَلَّى عَلَيْهِ وَهُوَ شَهِيْدٌ فِي الدُّنْيَا دُوْنَ الآخِرَةِ وَأَمَّا مَنْ مَاتَ فِي قِتَالِ الْكُفَّارِ بِسَبَبِ الْقِتَالِ عَلَى الْوَجْهِ الْمَرْضِِّي فَهَذَا شَهِيْدٌ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ. ( كفاية الأخيار، فصل ويلزم في الميت، جزء 1 ص 154 )

Talqin Saat Naza’ (Sakaratul Maut)

Talqin terhadap orang yang akan meninggal dunia adalah mengajari ucapan kalimah toyyibah supaya dalam akhir hayatnya tetap membawa kalimat Laa Ilaha Illallah, Muhammad Rasulullah”.

عَنْ أَبِى سَعِيْدٍ الْخُدْرِىِّ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- : « لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ». أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ فِى الصَّحِيحِ مِنْ حَدِيثِ خَالِدِ بْنِ مَخْلَدٍ عَنْ سُلَيْمَانَ وَأَخْرَجَهُ أَيْضًا مِنْ حَدِيثِ أَبِى حَازِمٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ .

1. صحيح مسلم باب تلقين الموتى.

2. سنن أبي داود باب مافى التلقين

3. السنن الكبرى للبيهقى وفي ذيله باب ما يستحب من تلقين الميت .

Dari said dan Abu Hurairoh ra. Mereka berkata, Rasul bersabda: “Ajarilah orang mati kalian dengan kalimat Laa Ilaha Illallah”. Hadits ini diriwayatkan Imam Muslim pada kitab sahihnya, dari cerita Khalid bin Makhlad, dari sulaiman. Imam Muslim juga meriwayatkan hadits ini dari cerita Abi Khazim, dari Abu Hurairah.

Yang dimaksud hadits di atas adalah Rasulullah mengutus kita agar mengajari orang yang sedang naza’ (menjelang meninggal dunia) dengan ucapan kalimat tauhid. Sebagaimana firman Allah:

يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُواْ بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاء (27)

“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan Ucapan yang teguh itu[788] dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki”. (Q.S. Ibrahim:27)

[788] Yang dimaksud ucapan-ucapan yang teguh di sini ialah kalimatun thayyibah yang disebut dalam ayat 24.

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa sangat di anjurkan mengajari kalimat tauhid kepada orang yang akan meninggal dunia, karena pada saat menjelang kematiannya akan menjadi tolak ukur kebahagiaan dan kesengsaraan kehidupan manusia di akhirat selanjutnya.

Posisi Jenazah Ketika Dishalati

1. Posisi jenazah ketika dishalati

a. Posisi jenazah laki-laki yaitu posisi kepala terletak di sebelah kiri imam

b. Posisi jenazah perempuan yaitu posisi kepala terletak di sebelah kanan imam.

وَيَجْرِىْ هَذَا التَّفْصِيْلُ فِى الْوُقُوْفِ فِى الصَّلاَةِ عَلىَ الْقَبْرِ اِلَى اَنْ قاَلَ وَيُضَمُّ لِهذِهِ الْقَاعِدَةِ قاَعِدَةٌ اُخْرَى سَيَأْتِيْ اَلتَّصْرِيْحُ بِهَا فِىْ عِباَرَةِ الْبَرْماَوِىِّ وَهِيَ يُجْعَلُ مُعْظَمُ الْمَيِّتِ يَمِيْنَ الْمُصَلِّى فَحِيْنَئِذٍ يَكُوْنُ رَأْسُ الذَّكَرِ فِيْ جِهَةِ يَساَرِى الْمُصَلِّى وَاْلاُنْثَى باِلْعَكْسِ (حاشية الجمل على المنهاج الجزء 2 ص 188)

2. Posisi imam shalat jenazah

a. Untuk jenazah laki-laki, posisi imam berdiri lurus searah dengan kepala jenazah.

b. Untuk jenazah perempuan, posisi imam berdiri lurus searah dengan pantat jenazah. (Hasyiyah al-Jamal ‘Ala al-Minhaj, juz II, hal. 188)

وَيَقِفُ نَدْباً غَيْرُ مَأْمُوْمٍ فِى إِماَمٍ وَمُنْفَرِدٍ عِنْدَ رَأْسِ ذَكَر ٍوَعَجِزِ غَيْرِهِ مِنْ اُنْثىَ وَخُنْثَى (حاشية الجمل على المنهاج الجزء 2 ص 188)

Shalat Jenazah bagi Wanita

Hukum shalat jenazah adalah fardlu kifayah (yang mengerjakan satu menggugurkan kewajiban yang lain). Shalat jenazah bagi wanita hukumnya adalah sah. Tatapi ulama masih khilaf tentang apakah shalat jenazah orang wanita dapat menggugurkan kewajiban shalat jenazah bagi orang laki-laki?

a. Menurut Imam Ibnu Muqri dan dikukuhkan oleh imam al-Romli bahwa shalatnya orang perempuan sah dan hanya dapat menggugurkan fardu kifayah dari golongan perempuan saja, artinya tidak dapat menggugurkan kewajiban kaum laki-laki.

وَاِذَا صَلَّتْ اَلْمَرْأَةُ سَقَطَ اَلْفَرْضُ عَنِ النِّسَاءِ (شرح المنهج جز 2 ,181)

Perempuan yang shalat jenazah hanya bisa menggugurkan kewajiban bagi kalangan perempuan saja (tidak bisa menggugurkan kewajiban bagi laki-laki). (Sarayh, al-Minhaj, juz II, hal. 181)

b. Menurut Ibnu Hajar, melaksanakan shalat jenazah bagi perempuan sah dan bisa menggugurkan kewajiban shalat jenazah bagi yang lain dengan syarat tidak ada orang laki-laki. Dan shalat jenazah tersebut disunnahkan pula berjama’ah bagi golongan perempuan.

أَمَّا اِذاَ لَمْ يَكُنْ غَيْرُهُنَّ فَتَلْزَمُهُنَّ وَتَسْقُطُ بِفِعْلِهِنَّ وَتُسَنُّ لَهُنَّ الْجَمَاعَةُ

(شرح المنهج جز 2 ,181)

(Shalat jenazah) boleh bagi perempuan selagi tidak ada yang lain (orang laki-laki) dan juga dapat menggugurkan kewajiban orang laki-laki serta disunnahkan pelaksanaan shalat jenazah dengan berjama’ah. (Sarakh al-Minhaj, juz II, hal. 181)

Hukum Melaksanakan Shalat Jenazah Tanpa Wudlu

Pada suatu saat, setelah melaksanakan shalat jenazah, Sanimo ditanya temannya kenapa kamu shalat jenazah tanpa sesuci? Shalat itu kan harus punya wudlu’?. Bagaimanakah status shalat Sanimo dalam kasus di atas?

Hukumnya khilaf:

a. Tidak sah. Menurut ijma’ ulama, setiap bentuk shalat yang diawali takbir dan diakhiri dengan salam harus dalam kondisi suci meskipun dalam shalat jenazah tanpa ruku’, i’tidal, sujud dan tahiyyat.

(فَرْعٌ) ذَكَرَناَ مَذْهَبُناَ اَنَّ صَلاَةَ الْجَنَازَةِ لاَتَصِحُّ اِلاَّ بِطَهَارَةٍ وَمَعْناَهُ إِنْ تَمَكَّنَ مِنَ اْلوُضُوْءِ لَمْ تَصِحَّ اِلاَّ بِهِ، وَإِنْ عَجَزَ تَيَمَّمَ، وَلَا يَصِحُّ التَّيَمُّمِ مَعَ إِمْكَانِ الْمَاءِ، وَإِنْ خَافَ فَوْتَ الْوَقْتِ (المجموع شرح المهذب جز 5 ص177)

Telah saya sebutkan bahwa sesungguhnya shalat jenazah itu tidaklah sah kecuali dengan bersuci. Artinya apabila seseorang masih mungkin berwudlu’, maka shalat jenazah tersebut tidak sah kecuali dilakukan dengan memakai wudlu’. (Al-Majmu’ syarh al-Muhadzab jld V, hal. 177)

b. Sah. Menurut Imam Ibnu Jarir dan Imam Syi’bi. Karena shalat jenazah merupakan bentuk do’a bukan seperti shalat maktubah atau yang lain.

وَقاَلَ الشَّعْبِىْ وَمُحَمَّدُ ابْنُ جَرِيْرٍ اَلطَّبَرِيّ وَالشِّيْعَةُ تَجُوْزُ صَلاَةُ الْجَناَزَةِ بِغَيْرِ الطَّهَارَةِ مَعَ اِمْكَانِ الْوُضُوْءِ وَالتَّيَمُّمِ لِأَنَّهَا دُعَاءٌ (المجموع شرح المهذب ج 5، ص 177)

Asya’bi, Muhammad bin Jarir al-Thabari dan kaum syi’ah berkata diperbolehkan shalat jenazah dengan tanpa bersuci, meskipun masih memungkinkan untuk mengerjakan wudlu’ dan tayammum, karena shalat jenazah itu hanya sekedar do’a. (Al-Majmu’ syarh al-Muhadzab jld V, hal. 177)

Kesaksian Terhadap Jenazah

Ketika jenazah hendak diberangkatkan ke pemakaman dilakukan acara Ibro’ terlebih dahulu di hadapan masyarakat, keluarga dan sanak famili yang ditinggalkannya untuk memohonkan maaf buat jenazah atas kesalahannya dan penyelesaian utang-piutang selama hidupnya, dalam kesempatan itu yang menarik adalah permintaan kesaksian masyarakat (isyhad) terhadap nilai perilaku jenazah selama hidupnya. Bagaimanakah hukum memberi kesaksian kepada jenazah yang akan diberangkatkan ke pemakaman?

Tradisi ibro’ yang telah berlaku di masyarakat ini hukumnya boleh (disunnahkan), bahkan dianjurkan memberi pujian baik kepada jenazah asalkan si mayit memang pantas untuk dipuji. Sebagaimana keterangan di bawah ini:

وَيُسْتَحَبُّ الثَّنَاءُ عَلَى الْمَيِّتِ وَذِكْرُ مَحَاسِنِهِ ( الاذكار النواوى ص 150 )

Disunnahkan memuji atas mayit dan menyebutkan kebaikannya. (al-Adzkar al-Nawawi hal.150)

( فَإِنْ رَأَى خَيْرًا سُنَّ ذِكْرُهُ ) لِيَكُوْنَ أَدْعَى لِكَثْرَةِ الْمُصَلِّينَ عَلَيْهِ وَالدَّاعِينَ لَهُ وَلِخَبَرِ ابْنِ حِبَّانِ وَالْحَاكِمِ اُذْكُرُوْا مَحَاسِنَ مَوْتَاكُمْ وَكَفُّوا عن مَسَاوِيهِمْ

Sunnah hukumnya menyebut kebaikan si mayit apabila mengetahuinya. Tujuannya tiada lain untuk mendorong agar lebih banyak yang memintakan rahmat dan berdoa untuknya. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Ibnu Hibban dan Hakim: Sebutlah kebaikan seseorang yang meninggal dunia dan hindari membuka aibnya. Fathu al-Wahab, bab Kitab al-Janaaiz juz 1 hal. 91.

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - :« أَيُّمَا مُسْلِمٍ شَهِدَ لَهُ أَرْبَعَةٌ بِخَيْرٍ أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ ». قَالَ قُلْنَا : وَثَلاَثَةٌ قَالَ :« وَثَلاَثَةٌ ». قَالَ قُلْنَا : وَاثْنَانِ قَالَ :« وَاثْنَانِ ». قَالَ : لَمْ نَسْأَلْهُ عَنِ الْوَاحِدِ رواه الْبُخَارِىُّ

Nabi bersabda: Setiap muslim yang disaksikan sebagai orang baik-baik oleh 4 orang, Allah akan memasukkan ke surga. Kami (para sahabat) bertanya: kalau disaksikan 3 orang? Nabi menjawab: kalau disaksikan 3 orang juga masuk surga. Kalau disaksikan 2 orang? Nabi menjawab: 2 orang juga. Kami (para sahabat) tidak menanyakan lagi bagaimana kalau hanya disaksikan oleh 1 orang. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab sahihnya,

(Riyad al-Shalikhin, bab Fadl Man Maata Lahu Aulaadun Shighor hal 388).

Mengantar Jenazah Sambil Mengucap Lafadz LAA ILAHA ILLALLAH.

Sudah menjadi tradisi di kalangan masyarakat apabila mengiringi jenazah menuju ke pemakaman, dengan diiringi bacaan kalimat tahlil (Laa Ilaha Illallah). Bagaimanakah hukum membaca kalimat tersebut?

Tradisi seperti itu sebenarnya sudah berlangsung sejak lama, dan amalan tersebut tidak dilarang oleh agama, sebab selain mengandung nilai-nilai kebaikan dengan berdzikir kepada Allah Swt. perbuatan itu tentu jauh lebih baik dari pada berbicara masalah duniawi dalam suasana berkabung, sebagaimana dijelaskan oleh syekh Muhammad Bin A’lan al-Siddiqi dalam kitabnya al-Futukhat al-Rabbaniyah;

وَقَدْ جَرَّتْ اَلْعَادَةُ فِىْ بَلَدِناَ زَبِيْدٍ بِالْجَهْرِ باِلذِّكْرِ اَماَمَ الْجَناَزَةِ بِمَحْضَرٍ مِنَ اْلعُلَمَاءِ وَاْلفُقَهَاءِ وَالصُّلَحَاءِ وَقَدْ عَمَّتْ اَلْبَلْوَى بِمَا شَاهِدْناَهُ مِنْ اِشْتِغَالٍ غاَلِبٍ الْمُشَيِّعِيْنَ بِالْحَدِيْثِ اَلدُّنْيَوِيِّ وَرُبَّمَا اَدَاهُمْ ذَلِكَ اِلَى الْغِيْبَةِ اَوْ غَيْرِهَا مِنَ اْلكَلاَمِ اَلْمُحَرَّمَةِ فَالَّذِيْ اِخْتَارَهُ اِنَّ شُغْلَ اِسْمَاعِهِمْ بِالذِّكْرِ اَلْمُؤَدِّيْ اِلَى تَرْكِ اْلكَلاَمِ وَتَقْلِيْلِهِ اَوْلَى مِنِ اسْتِرْسَالِهِمْ فِى اْلكَلاَمِ الدُّنْيَوِيِّ اِرْتِكَاباً بِأَخَّفِ الْمَفْسَدَتَيْنِ . كَماَ هُوَ الْقَاعِدَةُ الشَّرْعِيَّةُ وَسَوَاءٌ اَلذِّكْرُ وَالتَّهْلِيْلُ وَغَيْرُهَا مِنْ اَنْوَاعِ الذِّكْرِ وَاللهُ اَعْلَمُ (الفتوحات الربانية على اذكر النواوية ج 4 ص 183)

Telah menjadi tradisi di daerah kami Zabith untuk mengeraskan dzikir di hadapan jenazah (ketika mengantar ke kuburan). Dan itu dilakukan di hadapan para ulama’, ahli fiqih dan orang-orang saleh. Dan sudah menjadi kebiasaan buruk yang telah kita ketahui, bahwa ketika mengantarkan jenazah, orang-orang sibuk dengan perbincangan masalah-masalah duniawi, dan tidak jarang perbincangan itu menjerumuskan mereka ke dalam ghibah atau perkataan lain yang diharamkan. Adapun hal yang terbaik adalah mendengarkan dzikir yang menyebabkan mereka tidak berbicara atau meminimalisir pembicaraan adalah lebih utama dari pada membiarkan mereka bebas membicarakan masalah-masalah duniawi. Ini sesuai dengan prinsip memilih yang lebih kecil mafsadahnya, yang merupakan salah satu kaidah syar’iyah. Tidak ada bedanya apakah yang dibaca itu dzikir, tahlil ataupun yang lainnya, WaAllahu a’lam. (Al-Futukhat al-Rabbaniyah ‘ala Adzkari al-Nabawiyah juz IV, hal. 183)

Dan lebih jelas lagi di terangkan dalam kitab Tanwirul Qulub, bahwa disunnahkan melantunkan ayat-ayat al-Qur’an, membaca dzikir atau membaca shalawat kepada nabi Muhammad Saw., dan dilarang gaduh atau berbincang-bincang tentang perkara yang tidak berguna:

وَيُسَنُّ الْمَشْيُ اَمَامَهَا وَقُرْبَهَا وَاْلاِسْرَاعُ بِهَا وَالتَّفَكُّرُ فِى الْمَوْتِ وَماَبَعْدَهُ . وَكُرِهَ اللُّغَطُ وَالْحَدِيْثُ فِيْ اُمُوْرِ الدُّنْيَا وَرَفْعِ الصَّوْتِ اِلاَّ بِالْقُرْأَنِ وَالذِّكْرِ وَالصَّلاَتِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلاَ بَأْْسَ بِهِ اْلاَنَ لِأَنَّهُ شِعَارٌ لِلْمَيِّتِ. ( تنوير القلوب ص 213 )

Para pengantar jenazah yang berjalan kaki disunnahkan berjalan di depan keranda atau di dekatnya sambil berjalan cepat dan berfikir tentang dan sesudah mati. Tetapi tidak disunnahkan bagi para pengantar jenazah untuk gaduh, bercakap-cakap urusan dunia, apalagi dengan suara keras, kecuali melantunkan ayat-ayat al-Qur’an, membaca dzikir, atau shalawat kepada nbi karena hal ini menambah syi’ar bagi si mayit. (Tanwir al-Qulub halaman 213)

Talqin Mayit

Talqin mayit adalah mengajari dan menuntun aqidah kepada mayit, dengan harapan si mayit mampu menjawab pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir.

( قَوْلُهُ يَقُوْلُ ياَ عَبْدَ اللهِ إِلَخْ ) رَوَاهُ الطَّبْرَانِيُّ بِلَفَظٍ إِذَا ماَتَ أَحَدٌ مِنْ إِخْوَانِكُمْ فَسَوَيْتُمُ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ فَلْيَقُمْ أَحَدُكُمْ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ ثُمَّ لْيَقُلْ ياَ فُلاَنُ ابْنُ فُلاَنَةٍ فَإِنَّهُ يَسْمَعُهُ ثُمَّ يَقُوْلُ ياَ فُلاَنُ ابْنُ فُلاَنَةٍ فَإِنَّهُ يَسْتَوِيْ قاَعِدًا ثُمَّ يَقُوْلُ ياَ فُلاَنُ ابْنُ فُلاَنَةٍ فَإِنَّهُ يَقُوْلُ أَرْشَدْناَ يَرْحَمُكَ اللهُ وَلَكِنْ لاَ تَشْعَرُوْنَ فَلْيَقُلْ اُذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْياَ شهادة أن لا إله إلا الله وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَأَنَّكَ رَضِيْتَ باِللهِ رَباَّ وَبِالْإِسْلاَمِ دِيْناَ وَبِمُحَمَّدٍ نَبِياًّ وَبِالْقُرْآنِ إِماَماً (رواه الطبرانى. إعانة الطالبين ج 2 ص 14)

Rasulullah bersabda; apabila salah seorang dari saudara kamu meninggal dunia, maka ratakanlah tanah kuburannya, berdirilah di atas kepala kuburan mayit, lalu berkatalah wahai fulan bin fulan; sesungguhnya mayit tersebut mendengar ucapan itu, lalu orang yang menalqin berkata: bahwa fulan bin fulan! bahwa mayit tersebut mendengar ucapan itu, lalu mayit tersebut duduk, dan orang yang menalqin berkata lagi, wahai fulan bin fulan, sesungguhnya mayit itu berkata, tunjukkan aku maka engkau akan diberi rahmat oleh Allah Swt., sesungguhnya kalian (manusia) tidak mengetahuinya, lalu orang yang menalqin berkata, aku ingatkan padamu (mayit) sesuatu (yang harus) engkau bawa keluar dari dunia, yaitu penyaksian bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah Swt. dan sesungguhnya Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-NYA, dan sesungguhnya kamu ridho bahwa Allah Swt. adalah tuhanmu, islam menjadi agamamu, Muhammad menjadi Nabimu dan Al-Qur’an menjadi imammu. (HR. Imam at Tabrani) (I’anat al-Thalibin, juz II, hal. 14)

Menurut Imam al-Adzra’i:

a. Disunnahkan mentalqin mayit yang sudah baligh sesuai dengan firman Allah yang artinya dan berdzikirlah sesungguhnya dzikir itu memberikan manfaat kepada orang-orang yang beriman.

b. Tidak disunnahkan mentalqin anak yang belum baligh karena dia tidak mendapat fitnah di dalam kuburnya, begitu juga orang gila. Hal ini diterangkan dalam kitab I’anah al-thalibin juz 2 halaman 140.

( قَوْلُهُ وَتَلْقِيْنُ بَالِغٍ ) مَعْطُوْفٌ عَلَى أَنْ يُلَقِّنَ أَيْضًا أَيْ وَيُنْدَبُ تَلْقِيْنُ بَالِغٍ إِلَخْ وَذَلِكَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى { وَذْكُرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِيْنَ } وَأَحْوَجُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ إِلَى التَّذْكِيْرِ فِيْ هَذِهِ الْحَالَةِ وَخَرَجَ بِالْبَالِغِ الطِّفْلِ فَلاَ يُسَنُّ تَلْقِيْنُهُ لِأَنَّهُ لاَ يُفْتَنُ فِيْ قَبْرِهِ وَمِثْلُهُ اَلْمَجْنُوْنُ إِنْ لَمْ يَسْبِقْ لَهُ تَكْلِيْفٌ وَإِلاَّ لُقِنَ وَعِبَارَةُ النِّهَايَةِ وَلاَ يُلَقَّنُ طِفْلٌ وَلَوْ مُرَاهِقًا وَمَجْنُوْنٌ لَمْ يَتَقَدَّمَهُ تَكْلِيْفٌ كَمَا قَيَّدَ تْهُ اْلأَذْرَعِيَّ لِعَدَمِ اِفْتِتَانِهِمَا اه اعانة الطالبين ج 2 ص 140 .

Dengan demikian talqin mayit adalah hal yang diperintahkan oleh Rasulullah Saw.

Menyiram Kuburan dengan Air Bunga

Ketika berziarah, rasanya tidak lengkap jika seorang peziarah yang berziarah tidak membawa air bunga ke tempat pemakaman, yang mana air tersebut akan diletakkan pada pusara. Hal ini adalah kebiasaan yang sudah merata di seluruh masyarakat. Bagaimanakah hukumnya? Apakah manfaat dari perbuatan tersebut?

Para ulama mengatakan bahwa hukum menyiram air bunga atau harum-haruman di atas kuburan adalah sunnah. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi al-Bantani dalam Nihayah al-Zain, hal. 145

وَيُنْدَبُ رَشُّ الْقَبْرِ بِمَاءٍ باَرِدٍ تَفاَؤُلاً بِبُرُوْدَةِ الْمَضْجِعِ وَلاَ بَأْسَ بِقَلِيْلٍ مِنْ مَّاءِ الْوَرْدِ ِلأَنَّ الْمَلاَ ئِكَةَ تُحِبُّ الرَّائِحَةَ الطِّيْبِ (نهاية الزين 154)

Disunnahkan untuk menyirami kuburan dengan air yang dingin. Perbuatan ini dilakukan sebagai pengharapan dengan dinginnya tempat kembali (kuburan) dan juga tidak apa-apa menyiram kuburan dengan air mawar meskipun sedikit, karena malaikat senang pada aroma yang harum. (Nihayah al-Zain, hal. 154)

Pendapat ini berdasarkan hadits Nabi;

حَدثَناَ يَحْيَ : حَدَثَناَ أَبُوْ مُعَاوِيَةَ عَنِ الأعمش عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ طاووس عن ابن عباس رضي الله عنهما عَنِ النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ مَرَّ بِقَبْرَيْنِ يُعَذِّباَنِ فَقاَلَ: إِنَّهُمَا لَـيُعَذِّباَنِ وَماَ يُعَذِّباَنِ فِيْ كَبِيْرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لاَ يَسْتَتِرُ مِنَ البَوْلِِ وَأَمَّا اْلآخَرُ فَكَانَ يَمْشِيْ باِلنَّمِيْمَةِ . ثُمَّ أَخُذِ جَرِيْدَةً رَطْبَةً فَشْقِهَا بِنَصْفَيْنِ، ثُمَّ غُرِزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةٍ، فَقَالُوْا: ياَ رَسُوْلَ اللهِ لِمَ صَنَعْتَ هٰذَا ؟ فقاَلَ: ( لَعَلَّهُ أَنْ يُخَفَّفَ عَنْهُمَا مَالَمْ يَيْـبِسَا) (صحيح البخارى رقم 1361)

Dari Ibnu Umar ia berkata; Suatu ketika Nabi melewati sebuah kebun di Makkah dan Madinah lalu Nabi mendengar suara dua orang yang sedang disiksa di dalam kuburnya. Nabi bersabda kepada para sahabat Kedua orang (yang ada dalam kubur ini) sedang disiksa. Yang satu disiksa karena tidak memakai penutup ketika kencing sedang yang lainnya lagi karena sering mengadu domba. Kemudian Rasulullah menyuruh sahabat untuk mengambil pelepah kurma, kemudian membelahnya menjadi dua bagian dan meletakkannya pada masing-masing kuburan tersebut. Para sahabat lalu bertanya, kenapa engkau melakukan hal ini ya Rasul?. Rasulullah menjawab: Semoga Allah meringankan siksa kedua orang tersebut selama dua pelepah kurma ini belum kering. (Sahih al-Bukhari, [1361])

Lebih ditegaskan lagi dalam I’anah al-Thalibin;

يُسَنُّ وَضْعُ جَرِيْدَةٍ خَضْرَاءَ عَلَى الْقَبْرِ لِلْإ تِّباَعِ وَلِأَنَّهُ يُخَفِّفُ عَنْهُ بِبَرَكَةِ تَسْبِيْحِهَا وَقيِْسَ بِهَا مَا اعْتِيْدَ مِنْ طَرْحِ نَحْوِ الرَّيْحَانِ الرَّطْبِ (اعانة الطالبين ج. 2، ص119 )

Disunnahkan meletakkan pelepah kurma yang masih hijau di atas kuburan, karena hal ini adalah sunnah Nabi Muhammad Saw. dan dapat meringankan beban si mayat karena barokahnya bacaan tasbihnya bunga yang ditaburkan dan hal ini disamakan dengan sebagaimana adat kebiasaan, yaitu menaburi bunga yang harum dan basah atau yang masih segar. (I’anah al-Thalibin, juz II, hal. 119)

Dan ditegaskan juga dalam Nihayah al-Zain, hal. 163

وَيُنْدَبُ وَضْعُ الشَّيْءِ الرَّطْبِ كَالْجَرِيْدِ الْأَحْضَرِ وَالرَّيْحَانِ، لِأَنَّهُ يَسْتَغْفِرُ لِلْمَيِّتِ مَا دَامَ رَطْباً وَلَا يَجُوْزُ لِلْغَيْرِ أَخْذُهُ قَبْلَ يَبِسِهِ. (نهاية الزين 163)

Berdasarkan penjelasan di atas, maka memberi harum-haruman di pusara kuburan itu dibenarkan termasuk pula menyiram air bunga di atas pusara, karena hal tersebut termasuk ajaran Nabi (sunnah) yang memberikan manfaat bagi si mayit.

Hukum Shalat Jenazah di Atas Kuburan

Banyak orang yang ingin mengerjakan shalat jenazah. Apalagi jika yang meninggal adalah seorang ulama. Tidak jarang, shalat jenazah dilakukan setelah mayit disemayamkan dalam kuburannya. Bagaimana hukum shalat jenazah di atas kuburan itu?

Menanggapi hal ini ulama Syafiiyah mengatakan boleh dan sah hal ini didasarkan pada hadits:

عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، فَلَمَّا وَرَدْنَا الْبَقِيعَ إِذَا هُوَ بِقَبْرٍ جَدِيدٍ ، فَسَأَلَ عَنْهُ ، فَقَالُوا : فُلانَةٌ ، فَعَرَفَهَا ، فَقَالَ : أَلا آذَنْتُمُونِي ؟ قَالُوا : كُنْتَ قَائِلا صَائِمًا ، فَكَرِهْنَا أَنْ نُؤْذِنَكَ ، فَقَالَ : لا تَفْعَلُوا لأَعْرِفَنَّ مَا مَاتَ مِنْكُمْ مَيِّتٌ مَا كُنْتُ بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ إِلا دَعَوْتُمُونِي ، فَإِنَّ صَلاتِي عَلَيْهِ رَحْمَةٌ قَالَ : ثُمَّ أَتَى الْقَبْرَ ، فَصُفِفْنَا خَلْفَهُ ، فَكَبَّرَ عَلَيْهَا أَرْبَعًا (مسند أحمد بن حنبل الجزء 4 ص 388 )

Diriwayatkan dari Zaid Bin Tsabit Ra, beliau berkata kami pernah keluar bersama Nabi Saw. Ketika kami sampai di Baqi’, ternyata ada kuburan baru. Lalu beliau bertanya tentang kuburan itu. Sahabat bertanya, yang meninggal adalah seorang perempuan, dan ternyata beliau mengenalnya. Kemudian beliau bersabda Kenapa kalian tidak memberitahu aku tentang kematiannya?. Mereka bertanya: Wahai Rasulullah, anda (waktu itu) sedang tidur qailulah (tidur sebentar sebelum waktu dhuhur) dan berpuasa. Maka kami tidak ingin mengganggumu. Rasulullah menjawab: Jangan begitu, seorang tidak akan mati di antara kalian selama aku berada di tengah-tengah kalian kecuali kalian mengabarkannya kepadaku. Karena shalatku merupakan rahmat baginya. Lalu beliau mendatangi kuburan itu dan kami pun berbaris di belakang beliau. Kemudian beliau bertakbir empat kali (shalat jenazah) untuknya. (Musnad Ahmad bin Hanbal, juz 4 hal 388)

Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa shalat jenazah di atas kuburan adalah boleh. Al-Sham’ani mengatakan;

وَالْحَدِيْثُ دَلِيْلٌ عَلَى صِحَّةِ الصَّلاَةِ عَلَى الْمَيِّتِ بَعْدَ دُفْنِهِ مُطْلَقاً سَوَاءٌ صَلِّى عَلَيْهِ قَبْلَ الدُّفْنِ أَمْ لاَ وَإِلَى هذَا ذَهَبَ الشَّافِعِيُّ. (سبل السلام, ج 2 ص 100)

Hadits itu secara mutlak menunjukkan sahnya shalat jenazah setelah dikuburkan, baik sebelum dikuburkan sudah dishalati atau belum. (Subul al-Salam, juz II hal. 100).

Imam Daru al-Quthni menambahkan shalat jenazah di depan kuburan tetap sah meskipun jenazah sudah satu bulan dimakamkan.

وَلَوْ صَلَّى عَلَى مَنْ دُفِنَ صَحَّتْ صَلاَتُهُ لِأَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ صَلَّى عَلَى الْقَبْرِ بَعْدَ مَا دُفِنَ (رَوَاهُ الشَّيْخَانِ) زَادَ دَارُ القُّطْنِى بَعْدَ شَهْرٍ (كفاية الاخيار، ج 1 ص 157)

Imam al-Rouyani berkata meskipun mayat telah dikebumikan tetap sah menshalatinya karena Nabi pernah melakukan hal tersebut di atas kuburan setelah mayat di tanam, bahkan Imam Daru al-Quthni menambahkan, meskipun sudah melewati satu bulan. (Kifayah al-Akhyar, juz I hal. 157)

Shalat Ghaib untuk Mayit

Ketika seorang ulama besar dan kharismatik dipanggil ke rahmatullah, seluruh umat akan merasa kehilangan panutannya. Sebagai rasa turut berduka dan bela sungkawa, sebagian kaum muslimin yang tidak sempat melakukan shalat jenazah maka mereka melaksanakan shalat ghaib. Bagaimana pandangan ulama tentang pelaksanaan shalat ghaib untuk mayit?

Shalat ghaib adalah shalat jenazah yang jenazahnya tidak berada di hadapannya, tetapi berada di lain tempat, bisa jadi di desa lain ataupun di negara lain.

Dalam pelaksanaan shalat ghaib untuk mayat terjadi perbedaan pandangan di kalangan ulama’:

a. Tidak sah, pelaksanaan shalat ghaib.

لاَ تَصِحُّ الصَّلاَةُ عَلَى المَيِّتِ الَّذِيْ فِيْهَا أَىْ الْبَلَدِ الَّتِيْ كَانَ الْمُصَلِّيْ حاضرا فيها ولم يحضر في ذلك الميت: وَإِنْ كَبُرَتْ اَلْبَلَدُ لَتَيَسَّرَ الحُضُوْرُ غالبا، والْمُتَّجَهُ أَنَّ الْمُعْتَبَرَ الْمَشَقَّةُ وَعَدَمُهَا فَحَيْثُ شَقَّ الْحُضُوْرُ وَلَوْ فِي اْلبَلَدِ لِكِبَرِهَا وَنَحْوِهِ صَحَّتْ، وَحَيْثُ لاَ وَلَوْ خاَرِجَ السُّوْرَ لَمْ تَصِحَّ كَمَا نَقَلَهُ الشِّبْرَامُلِسِى عَنْ اِبْنِ قاَسِمٍ، فَلَوْكاَنَ الْمَيِّتُ خَارِجَ السُّوْرَ قَرِيْبا مِنْهُ فَهُوَ كَدَاخِلِهِ وَالْمُرَادُ بِالْقَرِبِ هُناَ حَدُّ اْلغَوْثِ (نهاية الزين ص 159-160)

"Tidak sah shalat mayit di suatu daerah yang memungkinkan untuk datang, namun dia tidak menghadirinya: walaupun daerah tersebut luas dan mudah dijangkau. Dan menurut qoul yang diunggulkan sesungguhnya hal yang menjadi pertimbangan adalah ada atau tidak adanya kesulitan untuk menghadirinya, apabila ada kesulitan maka shalatnya sah. (Nihayah al-Zain hal.159-160)

b. Sah menurut qaul mu’tamad, pelaksanaan shalat ghaib tersebut dikatakan sah apabila tidak memungkinkan menghadiri shalat jenazah. Sebagaimana diterangkan dalam Nihayah al-Zain;

وَتَصِحُّ الصَّلاَةُ عَلَى غَائِبٍ عَنْ بَلَدٍ لِأَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمَ صَلَّى عَلَى النَّجَاشِيْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ بِالْمَدِيْنَةِ يَوْمَ مَوْتِهِ بِالْحَبَشَةِ (نهاية الزين ص 159)

”Sah pelaksanaan shalat ghaib di suatu daerah, karena Nabi Saw. telah menshalati orang Najasyi Ra. di Madinah waktu dia wafat di Habasyah. (Nihayah al-Zain, hal. 159)

Qadla’ Shalat untuk Mayit

Salah seorang keluarga si A meninggal dunia, selama dua bulan terakhir, dia tidak mengerjakan shalat. Lalu dia berwasiat, kalau nanti dia mati supaya shalatnya diqadla’i oleh ahli warisnya. Bagaimana hukumnya mengqadla’ shalat untuk orang yang sudah mati?

Shalat merupakan ibadah Mahdloh, yaitu ibadah yang dilakukan seorang hamba dengan langsung berhubungan dengan sang Khalik. Maka pertanggung jawabannya kepada Allah Swt. secara pribadi. Berkaitan dengan shalat yang pernah ditinggalkan oleh orang yang mati maka ada beberapa pandangan:

a. Tidak boleh dan tidak sah mengqadha’ shalatnya karena shalat termasuk ibadah badaniyah, sebagaimana telah dijelaskan;

وَلَوْ قَضَاهَا وَارِثُهُ بِأَمْرِهِ لَمْ يَجُزْ لِأَنَّهَا عِبَادَةٌ بَدَنِيَّةٌ (إعانة الطالبين، ج 1 ص 33)

Seandainya ahli warisnya mengqadla’i atas perintah si mayit sebelum mati, maka tidak diperbolehkan melaksanakannya, karena shalat itu merupakan ibadah badaniyah. (I’anah al-Tholibin, juz I, hal. 33)

b. Tidak ada kewajiban qadla’ bagi ahli warisnya. Demikian juga mereka tidak berkewajiban menebusnya dengan harta yang ditinggalkan oleh si mayit, hanya saja sebagian ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa shalat yang ditinggalkan si mayit boleh di qadla’ oleh ahli warisnya, baik sebelum meninggal dunia dia berwasiat atau tidak. Sebagaimana dijelaskan dalam I’anah al-Thalibin, juz I, hal. 33.

مَنْ ماَتَ وَعَلَيْهِ صَلاَةُ فَرْضٍ لَمْ تُقْضَ وَلَمْ تُفْدَ عَنْهُ، وَفِيْ قَوْلٍ أَنَّهَا تُفْعَلُ عَنْهُ. أَوْصَى ِبهَا أَمْ لَا، مَا حَكَاهُ الْعُبَادِي عَنِ الشَّافِعِيِّ لِخَبَرٍ فِيْهِ. وَفَعَلَ بِهِ اَلسُّبْكِيُّ عَنْ بَعْضِ أَقاَرِبِهِ (إعانة الطالبين، ج 1 ص 33)

Barang siapa yang mati dan punya tanggungan shalat, maka tidak wajib mengqadla’ dan membayar tebusan (oleh ahli waris). Dan dalam satu pendapat, bahwa shalat itu diqadla’, baik si mayit berwasiat atau tidak. Sebagaimana yang diriwayatkan Al-Ubbady dari Imam Syafi’i. Imam Subki pernah mengerjakan (Qadla’ shalat) itu untuk kerabatnya. (I’anah al-Thalibin, juz I, hal.33)

Fidyah sebagai Ganti Puasa yang Ditinggal oleh Mayit

Ibadah puasa merupakan kewajiban yang dibebankan oleh Allah Swt. Kepada seluruh umat Islam. Orang-orang yang memenuhi syarat wajib melaksanakannya. Jika pada suatu saat, orang tersebut tidak puasa ia berkewajiban mengganti puasa yang ditinggalkan tersebut pada lain hari. Persoalannya adalah, bagaimanakah jika orang itu tidak mengganti puasanya sampai ia meninggal dunia, bolehkah keluarga atau kerabatnya menggantikan puasanya tersebut?

Ada beberapa kemungkinan orang yang meninggal dunia yang belum mengganti puasanya.

a. Pertama, orang tersebut meninggalkan puasa karena udzur, Ia meninggal sebelum sempat mengganti puasanya, misalnya tidak ada waktu untuk mengqadla’ puasanya. Seperti orang yang meninggal dunia pada pertengahan puasa atau pada saat hari raya, atau karena sakit yang ia derita tak kunjung sembuh hingga ajal menjemputnya.

b. Kedua, tidak puasa karena tidak ada udzur, tatapi orang tersebut memiliki kesempatan mengqadla’ puasanya, namun ia tidak mengganti puasa yang telah ditinggalkannya itu, baik karena malas atau alasan yang dibenarkan oleh syara’ kemudian ia meninggal dunia sebelum mengganti puasanya.

Jawaban:

a. Pada contoh yang pertama, orang tersebut tidak punya kewajiban untuk mengganti puasanya, sebab ia tidak berbuat lalai atau meremehkan masalah agama.

b. Pada contoh yang kedua, orang itu mati dengan meninggalkan hutang puasa. Maka ada dua pilihan yang dapat dilakukan oleh waris atau familinya, yaitu:

1. Memberikan makanan kepada fakir miskin

2. Mengqadla’ puasanya.

Sebagaimana yang diterangkan Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitab Nihayah al-Zain, hal. 192

وَمَنْ ماَتَ وَعَلَيْهِ صِياَمُ رَمَضَانَ أَوْ نَذَرٌ أَوْ كَفاَرَةٌ قَبْلَ إِمْكاَنِ فِعْلِهِ بِأَنْ اِسْتَمَرَ مَرِضُهُ اَلَّذِيْ لاَ يُرْجَى بُرْؤُهُ أَوْ سَفَرُهُ الْمُباَحُ إِلَى مَوْتِهِ فَلاَ تَدَارُكَ لِلْفاَئِتِ بِالْفِدْيَةِ وَلاَ بِالْقَضَاءِ وَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ لِعَدَمِ تَقْصِيْرِهِ فَإِنْ تَعَدَّى بِاْلإِفْطَارِ ثُمَّ ماَتَ قَبْلَ التَّمَكُّنِ وَبَعْدَهُ أَوْ أَفْطَرَ بِعُذْرٍ وَماَتَ بَعْدَ التَّمَكُّنِ أَطْعَمَ عَنْهُ وَلِيُّهُ مِنْ تِرْكَتِهِ لِكُلِّ يَوْمٍ فاَتَهُ مُدَّ طَعاَمٍ مِنْ غاَلِبِ قُوْتِ الْبَلَدِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ تِرْكَةٌ لَمْ يَلْزَمْ اَلْوَلِيَّ إِطْعاَمٌ وَلاَ صَوْمٌ بَلْ يُسَنُّ لَهُ ذلِكَ لِخَبَرٍ مَنْ ماَتَ وَعَلَيْهِ صِياَمٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ (نهاية الزين, ص 192)

Orang mati dengan meninggalkan puasa Ramadhan, Nadar atau puasa Kafarot, sedangkan ia belum sempat menggantinya, seperti sakit yang ia derita terus berkepanjangan dan sedikit harapan untuk sembuh, atau ia terus melakukan perjalanan mubah (perjalanan yang tidak untuk maksiat) sampai ia mati. Maka orang itu tidak perlu mengganti puasa yang ditinggalkannya, baik dengan puasa atau dengan membayar Fidyah (makanan pokok), sebab ia tidak lalai. Tapi jika ia sengaja tidak berpuasa (tanpa sebab yang dibenarkan), kemudian orang tersebut mati, baik sebelum sempat atau telah punya waktu untuk mengganti puasanya. Atau orang itu tidak puasa karena ada alasan yang dibenarkan, kemudian meninggal setelah ia memiliki kesempatan untuk mengqadla’ puasanya, (dalam kedua masalah ini) wali atau keluarga si mayit harus memberikan satu mud makanan pokok daerah itu setiap satu hari. Makanan itu diambilkan dari tirkah (harta peninggalan) si mayit (dan diberikan kepada para fakir miskin). Apabila orang yang meninggal itu tidak memiliki harta, maka wali tidak wajib berpuasa atau membayar fidyah yang diambil dari hartanya sendiri, tapi (perbuatan itu) disunnahkan kepada si wali. Sesuai dengan hadits Nabi Saw. barang siapa yang mati sedangkan ia punya tanggungan puasa, maka walinya boleh berpuasa untuknya. (Nihayah al-Zain hal. 192)

Ketentuan ini sesuai dengan sabda Nabi;

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامُ شَهْرٍ فَلْيُطْعَمْ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينٌ (سنن ابن ماجه,ج 1 ص 558, رقم 1747)

Dari Ibnu Umar ia berkata, Rasulullah Bersabda; Barang siapa yang mati dan dia mempunyai kewajiban berpuasa, maka hendaklah setiap hari (ahli warisnya) memberi makan kepada fakir miskin. (Sunan Ibnu Majah [1747])

(قَوْلُهُ فَإِطْعَامُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْناً إلخ) تَمْلِيْكُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْناً أَوْ فَقِيْرًا كُلُّ وَاحِدٍ مُدُّ طَعَامٍ، وَلَيْسَ الْمُرَادُ أَنْ يَجْعَلَ ذَلِكَ طَعَامًا وَيُطْعِمُهُمْ إِيَّاهُ فَلَوْ غَدَاهُمْ أَوْعَشَاهُمْ لَا يَكْفِيْ (إعانة الطالبين، جزء 2، ص240)

Fidyah adalah membayar denda untuk mengganti kewajiban yang ditinggalkan dengan memberi makan kepada 60 orang fakir miskin, masing-masing orang, satu mud (6 ons).

Dengan demikian ada beberapa pilihan, apabila ada keluarga kita yang meninggal dunia dengan mempunyai hutang puasa, yakni bisa dengan mengqadla’ puasanya atau dengan membayar fidyah.

Ziarah kubur

Pada malam jum’at atau siang harinya, sudah lazim bagi masyarakat Nahdliyin melakukan ziarah kubur. Mereka berziarah ke makam leluhur dan sanak kerabat yang telah lebih dahulu meninggalkannya. Berbagai kegiatan mereka lakukan di sana seperti membaca al-Qur’an, dzikir ataupun tahlil. Bagaimanakah sebenarnya hukum ziarah kubur tersebut apakah manfaat dan kegunaannya?

Pada masa awal Islam, Rasulullah memang melarang umat Islam untuk melakukan ziarah kubur. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga akidah umat Islam yang waktu itu masih lemah. Setelah akidah umat Islam kuat dan tidak ada kekhawatiran untuk berbuat syirik, Rasulullah membolehkan para sahabatnya untuk melakukan ziarah kubur. Karena ziarah kubur dapat membantu orang yang hidup untuk mengingat akan kematiannya. Nabi telah bersabda;

عَنْ بَرِيْدَةٍ قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِياَرَةِ اْلقُبُوْرِ فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمَّدٍ فِيْ زِياَرَةِ قَبْرِ أُمِّهِ فَزُوْرُوْهَا فَإِنَّهَا تُذَكِرُ اْلآخِرَةَ (سنن الترمذى، رقم 973)

Dari Buraidah ia berkata, Rasulullah bersabda; saya pernah melarang kamu berziarah kubur. Tapi sekarang, Muhammad telah diberi izin untuk berziarah ke makam ibunya. Maka sekarang, berziarahlah! Karena perbuatan itu dapat mengingatkan kamu pada akhirat. (Sunan al-Tirmidzi, [974])

Ibnu Hajar al-Haitami pernah ditanya tentang ziarah ke makam para wali, beliau mengatakan;

وَسُئِلَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ زِيَارَةِ قُبُورِ الْأَوْلِيَاءِ فِيْ زَمَنٍ مُعَيَّنٍ مَعَ الرِّحْلَةِ إلَيْهَا هَلْ يَجُوزُ مَعَ أَنَّهُ يَجْتَمِعُ عِنْدَ تِلْكَ الْقُبُورِ مَفَاسِدٌ كَثِيرَةٌ كَاخْتِلَاطِ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ وَإِسْرَاجِ السُّرُجِ الْكَثِيرَةِ وَغَيْرِ ذٰلِكَ فَأَجَابَ بِقَوْلِهِ زِيَارَةُ قُبُورِ الْأَوْلِيَاءِ قُرْبَةٌ مُسْتَحَبَّةٌ وَكَذَا الرِّحْلَةُ إلَيْهَا (الفتاوى الفقهية الكبرى، ج 1 ص 421)

Beliau ditanya tentang berziarah ke makam para wali pada waktu tertentu dengan melakukan perjalanan khusus ke makam mereka. Beliau menjawab, berziarah ke makam para wali adalah ibadah yang disunnahkan. Demikian pula perjalanan ke makam mereka. (al-Fatawi al-Kubra, juz I, hal. 421)

Maka, ziarah kubur itu memang dianjurkan dalam agama Islam bagi laki-laki ataupun perempuan, sebab di dalamnya terkandung manfaat yang sangat besar, baik bagi orang yang telah meninggal dunia yaitu berupa hadiah pahala bacaan al-Qur’an dan kalimat-kalimat thayyibah, maupun bagi orang yang berziarah itu sendiri, yakni mengingatkan manusia akan kematian yang pasti akan menjemputnya.

Keutamaan Ziarah Qubur

Fadhilah atau keutamaan ziarah kubur ditegaskan dalam Nihayah al-Zain hal.164 bahwa: “Disunnahkan untuk berziarah kubur, barang siapa berziarah ke makam kedua orang tuanya atau salah satunya setiap hari jum'at, maka Allah mengampuni dosa-dosanya dan dia dicatat sebagai anak yang ta'at dan berbakti kepada kedua orang tuanya”. Dalam riwayat lain disebutkan, “Barang siapa berziarah ke makam kedua orang tuanya atau salah satunya setiap hari jum'at dan membacakan surat Yaasin dan al-Qur’an al-Hakim di samping kuburnya maka Allah mengampuni dosa-dosanya sebanyak jumlah bilangan huruf yang terdapat pada ayat surat Yaasin dan al-Qur’an al-Hakim”. Dan riwayat lain menyebutkan pahala ziarah kubur kepada orang tua adalah seperti pahala ibadah haji:

وَيُسَنُّ زِيَارَةُ الْقُبُوْرِ وَوَرَدَ أَنَّ مَنْ زَارَ قَبْرَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا فِيْ كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّةً غُفِرَ لَهُ وَكَانَ باَرًا لِوَالِدِيْهِ، وَفِيْ رِوَايَةٍ: مَنْ زَارَ قَبْرَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا فِيْ كُلِّ جُمُعَةٍ فَقَرَأَ عِنْدَهَ يَس وَالْقُرْآنَ الْحَكِيْمَ غَفَرَ اللهُ لَهُ بِعَدَدِ ذٰلِكَ آيَةً وَحَرْفًا، وَفِيْ رِوَايَةٍ: مَنْ زَارَ قَبْرَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا فِيْ كُلِّ جُمُعَةٍ كاَنَ كَحَجَّةٍ. (نهاية الزين ص 164)

Mengenai keutamaan ziarah kubur juga diterangkan oleh Ibnu Najar dalam tarikhnya dari Abu Bakar Assiddiq, Rasulullah bersabda; “Barang siapa berziarah ke makam kedua orang tuanya atau salah satunya setiap hari jum'at dan membacakanya surat Yaasin maka Allah mengampuni dosa-dosanya sebanyak jumlah bilangan huruf yang terdapat pada surat Yaasin”. Hal ini diterangkan dalam kitab: al-Dar al-Mansur, Juz 7 hal. 40, Makarim al-Akhlak, Juz 1 hal. 73 dan 248, dan lain-lain.

وَأَخْرَجَ اِبْنُ النَّّجَارِ فِيْ تَارِيْخِهِ عَنْ أَبِيْ بَكْرٍ اَلصِّدِّيِقِ قاَلَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهِ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ " مَنْ زَارَ قَبْرَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا فِيْ كُلِّ جُمُعَةٍ فَقَرَأَ عِنْدَهَا يَس غَفَرَ اللهُ لَهُ بِعَدَدِ كُلِّ حَرْفٍ مِنْهَا " ( في الكتاب الدر المنثور جز 7 ص 40 و مكارم الاخلاق جز 1 ص 83 , 248 )

Rasulullah bersabda; “Barang siapa berziarah ke makam kedua orang tuanya atau salah satunya setiap hari jum'at maka Allah mengampuni dosa-dosanya dan dia dicatat sebagai anak yang ta'at dan berbakti kepada kedua orang tuanya”. Diterangkan dalam kitab: al-Mu'jam al-Kabir Litthabrani, Juz 19 hal. 85.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بن أَحْمَدَ أَبُو النُّعْمَانِ بن شِبْلٍ الْبَصْرِيُّ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا عَمُّ أَبِي مُحَمَّدِ بن النُّعْمَانِ، عَنْ يَحْيَى بن الْعَلاءِ الْبَجَلِيِّ، عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ أَبِي أُمَيَّةَ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ:"مَنْ زَارَ قَبْرَ أَبَوَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا فِي كُلِّ جُمُعَةٍ غُفِرَ لَهُ وَكُتِبَ بَرًّا. (كتاب المعجم الكبير للطبرانى جز 19 ص 85)

Rasulullah juga bersabda; “Barang siapa berziarah ke makam bapak atau ibunya, paman atau bibinya, atau berziarah ke salah satu makam keluarganya maka pahalanya adalah sebesar pahala haji yang mabrur. Dan barang siapa yang istiqamah berziarah kubur sampai datang ajalnya maka para malaikat akan selalu menziarahi kuburannya”. Hal tersebut diterangkan dalam kitab: al-Maudhu'at, Juz 3 hal. 240.

أَنْبَأَناَ إِسْمَاعِيْلُ بِنْ أَحْمَدَ أَنْبَأَناَ حَمْزَةُ أَنْبَأَناَ أَبُوْ أَحْمَدُ بِنْ عُدَى حَدَثَناَ أَحْمَدُ بِنْ حَفْصِ السَّعْدِى حَدَثَناَ إِبْرَاهِيْمُ بِنْ مُوْسَى حَدَثَناَ خَاقَانِ السَّعْدِى حَدَثَناَ أَبُوْ مَقَاتِلْ اَلسَّمَرْقَنْدِى عَنْ عُبَيْدِاللهِ عَنْ ناَفِعِ عَنْ اِبْنُ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَ اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ زَارَ قَبْرَ أَبِيْهِ أَوْ أُمِّهِ أَوْ عَمَّتِهِ أَوْ خَالَتِهِ أَوْ أَحَدٍ مِنْ قَرَابَاتِهِ كَانَتْ لَهُ حَجَّةٌ مَبْرُوْرَةٌ، وَمَنْ كَانَ زَائِراً لَهُمْ حَتَّى يَمُوْتُ زَارَتْ اَلْمَلاَئِكَةُ قَبْرَهُ " (كتاب الموضوعات جز 3 ص 240)

Ziarah Kubur bagi Perempuan

Pada dasarnya ziarah kubur merupakan tuntunan Nabi bagi umatnya untuk selalu mengingat bahwa setiap makhluk yang hidup akan mengalami kematian dan adanya kehidupan akhirat kelak. Lalu bagaimanakah hukum ziarah kubur bagi perempuan:

a. Makruh, apabila perempuan mudah susah dan resah, menangis dengan menjerit akibat lemahnya hati dan perasaannya.

( قَوْلُهُ فَتُكْرَهُ ) أَيْ اَلزِّياَرَةُ لِأَنَّهَا مَظِنَّةٌ لِطَلَبِ بُكَائِهِنَّ وَرَفْعِ أَصْوَاتِهِنَّ لِمَا فِيْهِنَّ مِنْ رِقَّةِ اْلقَلْبِ وَكَثْرَةِ الْجَزَعِ (إعانة الطالبين, ج 2 ص 142)

Dimakruhkan bagi wanita berziarah kubur karena hal tersebut cenderung membantu pada kondisi yang melemahkan hati dan jiwa. (I’anah al-Thalibin, Juz II, hal. 142)

b. Sunnah, jika ziarah ke makam para Nabi, auliya’ dan orang shaleh.

يُسَنُّ لَهَا زِياَرَةُ قَبْرِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِلَخْ وَقَالَ بَعْضُهُمْ اَىْ مِثْلُ زِياَرَةِ قَبْرِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زِياَرَةُ سَائِرِ قُبُوْرِ اْلأَنْبِيَاءِ وَاْلعُلَمَاءِ وَاْلأَوْلِياَءِ (إعانة الطالبين، ج …ص 142)

Disunnahkan bagi wanita berziarah kuburnya para Nabi, ulama’ dan para wali atau orang-orang yang shalih. (I’anah al-Thalibin, Juz II, hal. 142)

Mengharap Barokah

Dari dahulu masyarakat Indonesia marak melakukan ziarah makam para wali. Ziarah makam para wali yaitu mendatangi makam seseorang yang dianggap sebagai waliyullah (orang yang dekat dengan Allah Swt.) yang berada di wilayah tertentu. Seperti di pulau jawa terdapat makam wali songo dan wali-wali lainnya.

Tujuan melakukan ziarah selain untuk mengingatkan kepada kematian juga untuk mengharap limpahan barokah (berkah) yang diyakini dapat mengalir dari do’a para wali tersebut. Ada sebagian orang berpendapat bahwa mengharap barokah itu termasuk syirik. Benarkah anggapan tersebut?

Sebelum membahas tentang hukum mengharap barokah terlebih dahulu kita harus mengetahui pengertian barokah. Menurut Imam Syamsudin al-Syakhawi barokah adalah: Berkembang dan bertambahnya kebaikan dan kemulyaan. Hal ini diterangkan dalam kitab al-Qaul al-Badi’ Fii al-Shalati ‘ala al-Habibi al-Syafi’:

اَلْمُرَدُ بِالْبَرَكَةِ اَلنُّمُوُّ وَالزِّياَدَةُ مِنَ الْخَيْرِ وَالْكَرَمَةِ. (القول البديع فى الصلاة على الحبيب الشفيع, ص 91)

Yang dimaksud dengan barokah adalah berkembang dan bertambahnya kebaikan dan kemulyaan. (al-Qaul al-Badi’ Fii al-Shalati ‘ala al-Habibi al-Syafi’, hal.91)

Barokah itu ada yang diletakkan pada diri seseorang atau atsar (hal-hal yang membekas, memberikan kesan berupa jasa atau yang lain) dari seseorang. Mengenai dalil yang menerangkan barokah yang terdapat pada diri seseorang adalah perkataan Imam Mujahid dan Imam Atho’ dalam kitab Tafsir al-Baghawy;

( وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ ) اَىْ نَفَّاعًا حَيْثُ مَا تَوَجَّهْتُ . وَقَالَ مُجَاهِدٌ مُعَلِّمًا لِلْخَيْرِ , وَقَالَ عَطَاءٌ اَدْعُوْ اِلَى اللهِ وَاِلَى تَوْحِيْدِهِ وَعِبَادَتِهِ . وَقِيْلَ مُبَارَكاً عَلَى مَنْ تَبِعَنِيْ ( تفسير البغوى ج 3 ص 233 )

(Dan Dia (Allah) menjadikan aku (Nabi Isa as) seorang yang diberkati di mana saja aku berada) yaitu berguna di manapun aku menghadap. Imam Mujahid berkata: Mengajarkan kebaikan. Imam Atho’ berkata: Aku berdo’a kepada Allah, dan mengesakan-Nya juga menyembah-Nya. Dan dikatakan diberkahi atas orang yang mengikutiku (Nabi Isa As.). (Tafsir al-Baghawy juz 3 halaman 233)

Adapun dalil yang menerangkan barokah yang terdapat pada atsar seseorang adalah hadits sebagai berikut;

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ مَوْلَى أَسْمَاءَ عَنْ أَسْمَاءَ قَالَ أَخْرَجَتْ إِلَيَّ جُبَّةً طَيَالِسَةً عَلَيْهَا لَبِنَةُ شَبْرٍ مِنْ دِيبَاجٍ كِسْرَوَانِيٍّ وَفَرْجَاهَا مَكْفُوفَانِ بِهِ قَالَتْ هَذِهِ جُبَّةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَلْبَسُهَا كَانَتْ عِنْدَ عَائِشَةَ فَلَمَّا قُبِضَتْ عَائِشَةُ قَبَضْتُهَا إِلَيَّ فَنَحْنُ نَغْسِلُهَا لِلْمَرِيضِ مِنَّا يَسْتَشْفِي بِهَا (مسند احمد بن حنبل, باب حَدَّثَنَا أَسْمَاءُ بنت ابي بكر الصديق , رقم 25705)

Telah bercerita kepadaku Yahya bin Sa’id dari Abdul Malik, beliau berkata: Abdullah budaknya Asma’ binti Abu Bakar ra, menceritakan dari Asma’, dia berkata; Asma’ memperlihatkan kepadaku pakaian yang berlubang yang berjahit sutra, lalu asma berkata, ini adalah pakaian Rasulullah Saw. yang pernah beliau pakai. Pakaian itu dulu disimpan oleh ‘Aisyah ra. Ketika Aisyah ra. Wafat, saya yang menyimpannya. Kami selalu mencelupnya ke air untuk mengobati orang yang sakit dari kalangan kami. (Musnad Ahmad bin Hambal bab Hadatsana Asma’ binti Abu Bakar Al-Shiddiq, [25705]).

Berdasarkan paparan di atas, hukumnya boleh mencari barokah (berkah) dengan berziarah ke makam-makam para wali, dengan catatan tidak meyakini bahwa tempat itulah yang memberikan berkah, akan tetapi hanya Allah Swt. semata yang memberikan barokah.

Membakar Kemenyan di Kuburan

Di kalangan masyarakat terkadang melakukan upaya membakar kemenyan (dupo) di kuburan, pada waktu mulai membangun rumah, ataupun pada waktu mulai menanam padi dan acara selamatan-selamatan lainnya. Bagaimanakah hukum perilaku masyarakat seperti di atas?

Perilaku masyarakat di atas terkait dengan keyakinan dan pengharapan, dengan demikian hukumnya ditafsil:

a. Haram dan kufur, bila beri’tikad bahwa kemenyan yang dibakar memberikan pengaruh, misalnya dapat mendatangkan keberuntungan dan rizki.

b. Boleh, melakukan upaya membakar kemenyan untuk menghilangkan bau yang tidak nyaman dan beri’tikad bahwa semua kemanfaatan yang dihasilkan hanya datang dari Allah.

)Bughyah al-Mustarsyidin, hal. 249)

جَعَلَ الْوَسَائِطِ بَيْنَ الْعَبْدِ وَبَيْنَ رَبِّهِ ، فَإِنْ صاَرَ يَدْعُوْهُمْ كَمَا يَدْعُوْ اللهَ فِي اْلأُمُوْرِ وَيَعْتَقِدُ تَأْثِيْرُهُمْ فِي شَيْءٍِ مِنْ دُوْنِ اللهِ تَعاَلَى فَهُوَ كُفُرٌ ، وَإِنْ كاَنَ نِيَتُهُ التَّوَسُّلَ بِهِمْ إِلَيْهِ تَعَالَى فِي قَضَاءِ مُهِمَّاتِهِ ، مَعَ اعْتِقَادٍ أَنَّ اللهَ هُوَ النَّافِعُ الضَّارُّ الْمُؤْثِرُ فِي اْلأُمُوْرِ دُوْنَ غَيْرِهِ ، فاَلظَّاهِرُ عَدَمُ كُفْرِهِ وَإِنْ كاَنَ فِعْلُهُ قَبِيْحاً. (بغية المسترشدين :249 )

Hukum Membangun Kuburan

Banyak sekali pemakaman baik di pemakaman umum maupun di tanah pribadi yang diberi pagar, diperbaiki dengan rapi dan indah, bahkan ada yang membangun dengan melakukan pengkijingan, pemasangan atap dan seterusnya. Kadang hal ini menelan dana yang tidak sedikit, misalnya makam para wali, makam dari golongan keluarga kaya dan sebagainya. Bagaimanakah hukum membangun makam seperti di atas?

a. Haram, membangun kuburan di tanah Musabbalah (tanah kuburan umum) dan tanah wakaf.

b. Makruh, membangun kuburan di tanah pribadi atau tanah yang tidak diwakafkan karena termasuk menyia-nyiakan harta.

c. Boleh, membangun kuburan Nabi, sahabat, auliya’ dan orang-orang shaleh karena dibuat untuk tabarruk (mencari berkah). (Khasyiyah al-Bujairami ‘Ala al-Khatib, Fashlun Fil Janazah juz II, hal.297)

( وَلَا يُبْنَى ) أَيْ يُكْرَهُ فِي غَيْرِ الْمُسَبَّلَةِ وَالْمَوْقُوفَةِ وَيَحْرُمُ فِيهِمَا كَمَا أَشَارَ لِذَلِكَ الشَّارِحُ ، إلَّا إنْ خِيفَ نَبْشُهُ أَوْ تَخْرِقةُ سَيْلٍ لَهُ فَلَا يُكْرَهُ حِينَئِذٍ وَلَا فَرْقَ فِي عَدَمِ الْكَرَاهَةِ لِأَجْلِ ذَلِكَ بَيْنَ الْمُسَبَّلَةِ وَغَيْرِهَا كَمَا صَرَّحَ بِهِ الزَّرْكَشِيّ .ا هـ .حَجّ وَلَوْ وُجِدَ بِنَاءٌ فِي أَرْضٍ مُسَبَّلَةٍ وَلَمْ يُعْلَمْ أَصْلُهُ تُرِكَ لِاحْتِمَالِ أَنَّهُ وُضِعَ بِحَقٍّ قِيَاسًا عَلَى مَا حَرَّرُوهُ فِي الْكَنَائِسِ وَمِنْ الْبِنَاءِ الْأَحْجَارُ الَّتِي جَرَتْ عَادَةُ النَّاسِ بِتَرْكِيبِهَا نَعَمْ اسْتَثْنَى بَعْضُهُمْ قُبُورَ الْأَنْبِيَاءِ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَنَحْوَهُمْ ، بِرْمَاوِيٌّ وَعِبَارَةُ الرَّحْمَانِيِّ : نَعَمْ قُبُورُ الصَّالِحِينَ يَجُوزُ بِنَاؤُهَا وَلَوْ بِقُبَّةِ الْأَحْيَاءِ لِلزِّيَارَةِ وَالتَّبَرُّكِ. (حاشية البجيرمي على الخطيب، فصل في الجنازة، جزء 2، ص. 297).

Hukum Memindah Kuburan

Terkadang kita menjumpai di tengah-tengah masyarakat ada pemindahan mayit dari pemakaman yang satu ke pemakaman yang lain, baik tempatnya berjauhan maupun dekat, hal ini dilakukan karena berbagai alasan diantaranya karena perluasan jalan raya, sengketa tanah, bahkan juga keinginan dari pihak keluarga sendiri untuk dipindahkan. Hal semacam ini bolehkah dilakukan?

a. Haram, dilakukan pemindahan tersebut, baik tempatnya berjauhan maupun dekat, karena mengakibatkan terbukanya aib si mayit, kecuali dalam keadaan dharurat. Sebagaimana keterangan dalam kitab Mahalli, juz I, hal. 352.

وَنَبْشُهُ بَعْدَ دَفْنِهِ لِلنَّقْلِ وَغَيْرِهِ حَرَامٌ إلَّا لِضَرُورَةٍ: بِأَنْ دُفِنَ بِلَا غُسْلٍ أَوْ فِي أَرْضٍ، أَوْ ثَوْبٍ مَغْصُوبَيْنِ، أَوْ وَقَعَ فِيهِ مَالٌ، أَوْ دُفِنَ لِغَيْرِ الْقِبْلَةِ لَا لِلتَّكْفِينِ فِي الْأَصَحِّ. (المحلى، ج 1 ص 352)

Menggali kembali kuburan untuk dipindahkan atau tujuan lainnya hukumnya haram kecuali karena ada sesuatu yang dharurat seperti: mayit belum dimandikan, mayit dikubur atau memakai pakaian ghosob, terdapat harta berharga, atau mayit dikubur tidak menghadap kiblat, bukan karena untuk mengkafani (menurut pendapat yang lebih sahih). (al-Mahalli, juz I, hal. 352)

b. Makruh, pemindahan tersebut baik tempatnya berjauhan maupun dekat karena tidak ada dalil yang jelas mengenai hal ini. Sebagaimana dijelaskan dalam Hawasyi al-Syarwani;

وَقَضِيَّةُ قَوْلِهِ بَلَدٍ آخَرَ أَنَّهُ لَا يَحْرُمُ نَقْلُهُ لِتُرْبَةٍ وَنَحْوِهَا وَالظَّاهِرُ أَنَّهُ غَيْرُ مُرَادٍ وَأَنَّ كُلَّ مَا لَا يُنْسَبُ لِبَلَدِ الْمَوْتِ يَحْرُمُ النَّقْلُ إلَيْهِ ثُمَّ رَأَيْت غَيْرَ وَاحِدٍ جَزَمُوا بِحُرْمَةِ نَقْلِهِ إلَى مَحَلٍّ أَبْعَدَ مِنْ مَقْبَرَةِ مَحَلِّ مَوْتِهِ ( وَقِيلَ يُكْرَهُ ) إذْ لَمْ يَرِدْ دَلِيلٌ لِتَحْرِيمِهِ (حاشية الشروانى، ج 4 ص 199)

Batasan pemindahan itu selagi tidak melebihi jarak kuburan daerahnya si mayit. Dalam hal ini menurut sebagian ulamapemindahan itu tidak diharamkan, akan tetapi dihukumi makruh, karena tidak ada dalil yang tegas dalam hal ini. (Hasyiyah al-Syarwani, juz IV, hal. 199)

Membongkar Kuburan

Di suatu daerah terdapat peristiwa pembongkaran makam, hal ini dilakukan karena mayat di dalamnya harus divisum terkait dengan kasus kriminal yang terjadi. Bagaimanakah hukum dari pembongkaran pemakaman mayat tersebut?

a. Haram, karena hal tersebut merupakan perkara yang membuka aib si mayit.

b. Boleh, apabila hal ini mendapat izin dari keluarga mayat.

Keterangan di atas berdasarkan kitab Bujairami ‘Ala al-Khotib, Juz II, halaman. 309.

وَأَمَّا نَبْشُهُ بَعْدَ دَفْنِهِ وَقَبْلَ الْبَلَى عِنْدَ أَهْلِ الْخِبْرَةِ بِتِلْكَ الْأَرْضِ لِلنَّقْلِ وَغَيْرِهِ كَالصَّلَاةِ عَلَيْهِ وَتَكْفِينِهِ فَحَرَامٌ لِأَنَّ فِيهِ هَتْكًا لِحُرْمَتِهِ إلَّا لِضَرُورَةٍ بِأَنْ دُفِنَ بِلَا غُسْلٍ وَلَا تَيَمُّمٍ بِشَرْطِهِ وَهُوَ مِمَّنْ يَجِبُ غُسْلُهُ لِأَنَّهُ وَاجِبٌ ، فَاسْتَدْرَكَ عِنْدَ قُرْبِهِ فَيَجِبُ عَلَى الْمَشْهُورِ نَبْشُهُ وَغُسْلُهُ إنْ لَمْ يَتَغَيَّرْ أَوْ دُفِنَ فِي أَرْضٍ أَوْ فِي ثَوْبٍ مَغْصُوبَيْنِ وَطَالَبَ بِهِمَا مَالِكُهُمَا فَيَجِبُ النَّبْشُ وَلَوْ تَغَيَّرَ الْمَيِّتُ لِيَصِلَ الْمُسْتَحِقُّ إلَى حَقِّهِ ، وَيُسَنُّ لِصَاحِبِهِمَا التَّرْكُ .( البجيرمى على الخاطب ج 2 ص 309 )

Sebab-sebab wajibnya membongkar kuburan:

1. Mayat belum dimandikan

2. Mayat tidak menghadap kiblat

3. Jika mayat membawa barang orang lain (ghosob)

4. Ada janin pada perut mayat dan diperkirakan janin tersebut masih hidup, (misalnya karena janin berumur 6 bulan lebih), menurut ahli kedokteran.

5. Orang kafir yang dikubur di pemakaman orang islam.

6. Terkena banjir atau bencana yang lain.

7. Orang kafir yang dikubur di tanah suci (Makkah)

8. Adanya tuntutan orang lain terhadap ahlul waris mayit karena terjadi kasus.

Keterangan dalam kitab Inarah al-Duja, hal. 158

وَيَنْبَسُ الْمَيِّتُ لِلْأَرْبَعَةِ لِلْغُسْلِ مَعْ تَوْجِيْهِهِ لِلْقِبْلَةِ

هَذَا لَمْ إِذَا يَتَغَيَّرْ وَانْتِقَا لِلْمَالِ إِنْ دُفِنَ مَعْهُ مُطْلَقًا

كَذَاكَ لِلْجَنِيْنِ حَيْثُ دُفِنَا مَعْ أُمهِ وَظُنَّ حَيًّا هَاهُنَا

Dengan demikian membongkar kuburan hukumnya boleh ketika dalam keadaan darurat.

Non Muslim Meninggal sebelum Baligh Masuk Sorga atau Neraka

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada 3 pendapat:

a. Menurut sebagian ulama anak orang kafir yang meninggal belum baligh akan masuk neraka karena dinisbatkan (dibangsakan) pada orang tuanya yang kafir.

عَنْ خَدِيْجَةَ اَنَّهَا سَاَلَتْ اَلنَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ اَوْلاَدِهَا اَلَّذِيْنَ مَاتُوْا فِى الْجَاهِلِيَّةِ مِنْ زَوْجٍ لَهَا قَبْلَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقاَلَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِنْ شِئْتِ اَرَأَيْتُكِ تَقْبِلَهُمْ فِى النَّارِ وَاِنْ شِئْتِ اِسْمَعْكِ نَعْلاَئِهِمْ فِى النَّارِ وَلِأَنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ وَلاَ يَلِدُوْا اِلاَّ فاَجِرًا كَفَّارًا، فَإِنَّهُمْ حِيْنَ وَلَدُوْا كاَنُوْا كُفَّارًا.

Diceritakan dari Siti Khadijah Ra., sesungguhnya dia bertanya pada Nabi tentang anak-anaknya yang telah meninggal pada masa Jahiliyah dengan suami sebelum Nabi, Maka Nabi Muhammad Saw. Berkata: Kalau kamu ingin mengetahui, aku akan menunjukkan keberadaan anakmu di neraka, kalau kamu ingin mengetahui aku akan memperdengarkan sandal anakmu yang ada di neraka, Allah Swt. berfirman: Anak-anak orang kafir tidak dilahirkan kecuali menjadi orang yang rusak dan kafir.

b. Menurut sebagian ulama anak orang kafir yang meninggal sebelum baligh akan masuk surga karena dikembalikan pada fitrah (suci)

رُوِىَ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَاَبُوْاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ.

Diceritakan dari Nabi Muhammad Saw. beliau bersabda; setiap bayi yang dilahirkan adalah suci, tergantung orang tuanya yang menjadikan Yahudi, Nasrani atau Majusi.

c. Menurut sebagian ulama, anak orang kafir yang meninggal sebelum baligh akan dijadikan pelayan surga.

عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَذَرُوْنَ مِنَ اللاَّهُوْنِ مِنْ أُمَّتِىْ فَقَالُوْا اَللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ فَقاَلَ أَطْفاَلُ الْمُشْرِكِيْنَ لَمْ يَذْنِبُوْا فَيُعَذِّبُوْا وَيُعَمِّلُوْا حَسَنَةً فَيُثاَبُوْا فَهُمْ خُدَّامُ أَهْلِ الْجَنَّةِ.

Diceritakan dari Nabi Muhammad Saw. Beliau bersabda: apakah kalian tahu apa yang dinamakan Lahun dari umatku?. Para sahabat menjawab: Allah dan rasulnya yang lebih tahu. Kemudian Nabi bersabda: mereka adalah anak-anak orang kafir yang meninggal sebelum baligh, belum melakukan dosa dan akan disiksa, dan belum melakukan perbuatan baik kemudian mendapat pahala, yaitu anak-anak orang kafir (yang meninggal sebelum baligh) mereka akan menjadi pelayan di surga. (Bustan al-Arifin, hal. 101-102)

Adzan dan Iqomah saat Mayit Dibaringkan dalam Liang Lahat

Adzan merupakan salah satu ibadah yang dianjurkan oleh agama Islam. Karena di dalam adzan ada manfaat yang sangat besar, serta terkandung syiar agama Islam. Ketika akan melaksanakan shalat, adzan dikumandangkan sebagai tanda masuknya waktu shalat. Dan salah satu kebiasaan yang berlaku di masyarakat adalah adzan setelah mayit diletakkan dalam kuburan. Bagaimanakah hukum adzan tersebut?

Dalam hal ini pandangan ulama’ terbagi menjadi dua:

a. Tidak disunnahkan adzan setelah mayit diletakkan dalam liang lahat, karena tidak ada dalil yang menunjukkan kesunnahan pelaksanaan hal tersebut dari Nabi.

b. Sunnah karena bisa disamakan pada adzan dan iqomah ketika anak baru lahir ke dunia.

وَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا يُسَنُّ الْأَذَانُ عِنْدَ دُخُوْلِ الْقَبْرِ خِلَافًا لِمَنْ قَالَ بِسُنَّتِهِ قِيَاسًا لِخُرُوْجِهِ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى دُخُوْلِهِ فِيْهِ (إِعَانَةُ الطَّالِبِيْنَ، ج.1، ص. 230).

Ketahuilah, sesungguhnya adzan itu tidak disunnahkan ketika memasukkan jenazah ke dalam kubur. Berbeda dengan orang yang berpendapat bahwa adzan itu sunnah, karena kematian dikiaskan dengan kelahiran. (Ianah al-Thaliban, juz I, hal. 230).

Dengan demikian adzan dan iqomah tersebut tidak dapat dikatakan haram.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar